AGSI Kritik Wacana Kemendikbud Sederhanakan Mata Pelajaran Sejarah pada Kurikulum 2021

AGSI Kritik Wacana Kemendikbud Sederhanakan Mata Pelajaran Sejarah pada Kurikulum 2021
WJtoday, Jakarta - Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) mengkritik kajian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) soal wacana penyederhanaan kurikulum 2021 yang sedang dibahas oleh Kemendikbud. Poinnya, menolak mata pelajaran sejarah yang dibatasi untuk tingkat SMA dan SMK.

Presiden AGSI, Sumardiansyah P Kusuma mengatakan organisasinya keberatan jika Kemendikbud sampai menjadikan sejarah sebagai mata pelajaran pilihan dan porsinya dikurangi atau sampai mata pelajaran sejarah yang kemungkinan tak lagi diwajibkan di sekolah.

"Posisi mata pelajaran sejarah dalam konteks sejarah Indonesia itu bergeser. Dari kelompok wajib menjadi pilihan di kelas 10-11 yang implikasinya siswa bisa tidak belajar sama sekali," kata Sumardiansyah dalam webinar mengenai urgensi pelajaran sejarah, Minggu (27/9).


Selain itu, AGSI juga mengkritik kajian Kemendikbud yang berisi sejarah bakal dilebur dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Menurut Sumardiansyah, mata pelajaran sejarah harusnya berdiri sendiri.

"Mata pelajaran di kelas 10 masuk rumpun IPS dengan alokasi waktu 4 jam dengan sistem blok. 3 bulan sejarah, 3 bulan geografi, 3 bulan ekonomi," jelas Sumardiansyah.

"Apa dalilnya mata pelajaran sejarah yang harusnya lex specialis itu dimasukkan menjadi rumpun IPS? Bukannya sejarah dan IPS itu satu dimensi ilmu yang berbeda," lanjut dia.

Selain itu, AGSI juga mempersoalkan hilangnya mata pelajaran sejarah di SMK dalam draf kajian Kemendikbud. Menurut dia, jika kebijakan ini diwujudkan bakal menjadi sangat fatal dalam dunia pendidikan.

"Yang fatal itu mata pelajaran sejarah di SMK hilang sama sekali. Kemendikbud bisa bilang, kan sudah ada IPS. Lho sejarah dan IPS itu beda. Ini yang mau kita diskusikan," kata Sumardiansyah.

"Jadi kita tidak pernah bilang sejarah dihilangkan oleh pemerintah. Kami yakin tetap ada di kurikulum tapi bagaimana posisi dan porsinya dan bagaimana keberadaan di SMK, itu yang kita kritik," ujar Sumardiansyah.***