Gersangnya Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat

Gersangnya Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat
Lihat Foto
MEMPERHATIKAN kondisi Jawa Barat saat ini, penulis melihat kondisi ketahanan pangan di Jawa Barat sangat lemah. 

Walaupun produktivitas padi sawah di Jawa Barat tergolong tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional, namun lahan sawah cenderung menyusut dan masih ada setidaknya beberapa wilayah di Jawa Barat yang terdeteksi rawan pangan. 

Kesiapan Jawa Barat dalam mendukung kedaulatan pangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat terganggu karena maraknya konversi lahan sawah ke penggunan lainnya. Dampaknya, hingga kini masalah pangan tak kunjung usai, bahkan kompleksitasnya meningkat, kesejahteraan petani jauh dari harapan. 

Meski pembangunan pertanian berjalan, sektor pertanian masih dibayangi dilema impor di sisi lain, akses mendapatkan pangan bergizi yang terjangkau bagi masyarakat kurang mampu masih jauh dari harapan, tidak sedikit rakyat dari keluarga miskin yang mengalami gizi buruk. 

Kita perlu mengkaji kembali hakikat dari ketahanan pangan sebagai kondisi dimana kebutuhan pangan bagi seluruh masyarakat dapat terpenuhi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya (Martami, 2015); Sedang Irawan (2013) mengemukakan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. 

Ketersediaan pangan dapat berasal dari produksi domestik atau sumber lain (Irawan, 2013). Ketahanan pangan juga mendukung Nawa Cita ke-7, yaitu Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. 

Dalam rangka menciptakan sistem ketahanan pangan yang tangguh, keberhasilan pertanian juga perlu dituntaskan dengan sistem logistik dan distribusi setiap komoditi pangan, khususnya beras, jagung dan kedelai. Sistem yang ada sekarang masih perlu dioptimalkan atau disempurnakan atau bahkan diubah secara total, agar keberhasilan ketahanan pangan benar-benar tuntas. 

Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan, sudah seharusnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan pengendalian impor pangan dengan cara meningkatkan produktivitas pangan daerah, pemberantasan mafia impor, dan juga mengembangkan ekspor pertanian berbasis pengolahan pertanian. 

Sektor perdagangan jangan merasa karena memiliki hak impor maka mindset nya selalu impor. Hanya karena satu kota yang mengalami kelangkaan maka menganggap hal itu juga berlaku bagi kota lain. Sehingga langsung mengambil langkah impor. Padahal kondisi satu daerah berbeda dengan daerah lainnya. 

Beberapa waktu lalu, di Bandung harga cabai mencapai 45 ribu per kilo, ketika pemerintah akan impor cabai ternyata di Cianjur harga cabai berkisar 20-15 ribu per kilo, cabai dalam negeri malah surplus. 

Untungnya impor bisa digagalkan, kalau tidak petani semakin menjerit karena harga semakin jatuh. 

Selain itu Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan masyarakat diupayakan untuk meningkatkan hasil dan mutu pertanian melalui pemanfaatan teknologi berbasis agroindustri dan agrobisnis serta pengolahan hutan-hutan yang lestari. 

Sangat mungkin bagi Jawa Barat untuk mencapai kedaulatan pangan, hal ini disebabkan: pertama, karena mayoritas penduduk Indonesia mata pencariannya di sektor pertanian. Kedua, iklim di Indonesia hanya mengenal dua musim, yakni hujan dan kering, hal ini memungkinkan lahan sawah untuk bisa ditanami sepanjang tahun. Ketiga, 60 persen cadangan pangan di Khatulistiwa itu ada di Indonesia. 

Hal ini menandakan bahwa Indonesia memang tempat yang strategis di sektor pangan, bisa ditanami sepanjang musim selama masih ada tanah, matahari dan hujan. Kita memiliki tanah yang sangat subur. Kondisi-kondisi demikian merupakan peluang besar bagi Jawa Barat. 

Sayangnya, dari tahun ke tahun sistem pengelolaan pangan di Jawa Barat masih tidak berubah. Setiap Ramadan, Idul Fitri, Tahun Baru, dan hari-hari besar lainnya terjadi kelangkaan pangan. Terlihat yang salah dari semua itu ada pada tata kelola yang kurang baik. Hal ini memperlihatkan bahwa selama ini pertanian adalah sebuah sektor yang selalu diinferiorkan dalam kebijakan pembangunan, indikatornya sangat jelas yaitu sangat rendahnya tingkat pendapatan petani yang notabene adalah aktor utamanya. 

Revitalisasi pertanian harus bersifat komprehensif di semua lini dimulai dari hulu produksi pangan yang meliputi ketersediaan kredit modal, lahan, air untuk irigasi, benih, pupuk, pestisida dan sarana produksi lainnya. Revitalisasi juga harus dilakukan di Industri pasca panen dan pengolahan hasil pertanian. 

Program revitalisasi sektor pertanian yang dimulai sejak 2005 masih belum optimal. Infrastruktur irigasi banyak yang rusak, jalan di desa-desa basis pertanian belum memadai. Jika pemerintah tidak serius dalam mengatasi masalah pertanian dengan solusi komprehensif, dan tetap mengandalkan impor, kedaulatan pangan di negeri ini akan menghawatirkan. 

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui adanya indikasi bahwa sektor pertanian yang menjadi fondasi ketahanan pangan berjalan tidak jelas. Petani tidak lagi mendapatkan bimbingan yang baik, kemajuan teknologi pertanian hanya dinikmati kalangan industri pertanian, bibit dan pupuk yang mengikuti pola pasar bebas. 

Akibatnya, tingkat keberhasilan panen pun menjadi sulit terukur. Lagi-lagi kunci ketahanan pangan itu berada di tangan petani. Pemprov Jawa Barat perlu mendekati petani layaknya mendekati kelompok industri. Petani perlu diasuh, dirawat, dan dilindungi. Tentu beserta infrastruktur yang menunjang pertanian dengan menggandeng perguruan tinggi sebagai pusat inovasi yang dapat mendukung kebutuhan sektor pertanian. 

Untuk mempercepat sasaran kedaulatan pangan daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2020 diperlukan berbagai upaya dan komitmen Pemprov Jawa Barat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, sebagai berikut: 
1. Perlu memperkuat kerjasama dengan berbagai komponen masyarakat (pengusaha, perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi, pemuka agama) dalam meningkatkan daya saing daerah. 

2. Meningkatkan daya saing produk pangan nasional dengan cara, meningkatkan sinkronisasi kebijakan/ program. mempercepat perbaikan dan perluasan infrastruktur; mempermudah akses UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah); mengimplementasikan Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSP) dan mengintroduksikan sistem sertifikasi produksi sebagai jaminan mutu dan keamanan pangan. 

3. Dalam rangka mengoptimalkan implementasi Rencana Aksi Nasional Pangan perlu dilakukan penguatan koordinasi lintas SKPD dalam menangani permasalahan gizi di masyarakat; pelibatan seluruh stakeholder pangan dalam melaksanakan Rencana Aksi Daerah (RAD) Pangan dan Gizi; dan pembangunan sistem informasi pangan yang terintegrasi dan aman. 

Tidak bisa dipungkiri Jawa Barat pernah mencapai ketersediaan beras yang berlimpah dari hasil buminya sendiri. Keberlimpahan beras sebagai sumber pokok pangan rakyat Jawa Barat saat itu menjadi simbol kemakmuran negeri, bahkan mampu memenuhi kebutuhan beras negara lain. Ketersediaan beras berlimpah itu tercatat dalam sejarah sebagai swasembada beras. Itulah prestasi sektor pangan yang luar biasa berhasil diraih pemerintah Jawa Barat zaman itu. 

Keberhasilan itu diraih melalui fokus dan intensitas program yang berkelanjutan. Bernaung di bawah gerakan revolusi pangan yang menggerakkan berbagai hal, mulai penyiapan regulasi, program intensifikasi massal yang tertata, bimbingan massal untuk meningkatkan produksi pertanian, bibit unggul padi, hingga penerapan teknologi tanam. Sejatinya kekuatan pertanian Jawa Barat adalah menempatkan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tepat guna serta selaras dengan nilai-nilai kearifan lokal. 

Pada akhirnya, konsep ketahanan pangan hanya dapat diwujudkan dengan sinergisitas antara subsistem ketersediaan yang mencakup produksi, pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan dengan didukung sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi dan manajemen dalam hal kelembagaan. ***

H Syahrir SE MIPol 
Anggota DPRD Jabar Fraksi Partai Gerindra