Kontroversi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, Ini Respons Komnas HAM hingga Komisi X DPR RI

Kontroversi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, Ini Respons Komnas HAM hingga Komisi X DPR RI
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Sejumlah pihak menyoal masalah formil dalam pembentukan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. 

Ada beberapa pihak yang merasa tidak dilibatkan dalam pembentukan aturan anyar ini. Mereka yang mengaku tidak diajak bicara, di antaranya; Komnas HAM, PP Muhammadiyah, dan Komisi X DPR RI.

Permendikbud No 30/2021 diteken Mendikbud Riset Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 dan diundangkan pada 3 September 2021.

Pengurus Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) tetap meminta  Permendikbud No 30/2021 dicabut dan kemudian direvisi.

PP Muhammadiyah menginginkan Permendikbud soal kekerasan seksual di perguruan tinggi ini tidak hanya mengatur soal kekerasan seksual ‘tanpa persetujuan korban’, namun juga mencakup perilaku seksual dengan persetujuan (consent).

"Jadi kami minta peraturan ini dicabut dan direvisi. Supaya kekerasan seksual itu terdiri dari paksaan dan juga suka sama suka. Kita sebagai negara yang memiliki nilai-nilai agama dan ketimuran ini, kan tidak bisa membiarkan (seks bebas). Jadi kalau kita bisa membuat terobosan hukum yang mengatur itu, kenapa tidak," ujar Wakil Sekretaris Majelis Diklitbang PP Muhammadiyah, Adam Jerusalem, Sabtu, 13 November 2021.

Senada, Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Fahmi Alaydroes menyebut, maraknya hubungan seksual di luar pernikahan ini juga merupakan masalah serius dalam konteks moral. Masalah ini diperkuat dengan data aborsi hingga penetrasi di luar nikah yang semakin tinggi.

"Jadi Permendikbud ini harus dicabut dulu, lalu diperbaiki dan direkonstruksi ulang dengan melibatkan sejumlah stakeholder. Kalau Permendikbud ini dibiarkan saja, muncul berbagai tafsir seolah memasabodohkan sexual consent," ujar dia.

Ketua Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik mengatakan, dalam perspektif hukum internasional dan hak asasi manusia, memang kekerasan seksual itu terkait dengan unsur consent.

Kendati demikian, ujar Taufan, kekhawatiran Muhammadiyah dan PKS soal perilaku seksual dengan consent juga tidak bisa diabaikan. Meskipun, pemerintah tentu tidak bisa masuk terlalu jauh dalam urusan privat.

"Memang benar ada masalah lain yang harus diatasi, tapi dalam pandangan kami itu, ya, mestinya bisa dengan setting sosial dan edukasi, bukan delik, karena delik susah dikenakan untuk orang yang suka sama suka. Katakanlah dia bisa lakukan dimana saja, masak kita harus mengintip dia terus,"

Agar polemik ini tidak berkepanjangan, Komnas HAM mendorong agar Kemendikbudristek membuka dialog lebih luas mengenai aturan anyar ini, sekaligus memberi penjelasan lebih detail tentang mekanisme penanganan kekerasan seksual agar tidak berbenturan dengan penegakan hukum.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, secara tegas menampik tuduhan bahwa Permendikbud 30 melegalkan perzinaan. Nadiem siap berdiskusi dengan para pihak yang mengkritik.

"Akan semua masukan itu, kami dalam beberapa bulan ke depan pasti akan datang, sowan ke berbagai macam pihak dan mengerti kalau mereka punya kekhawatiran," ujar Nadiem dalam sosialisasi Permendikbud 30/2021 secara daring, Jumat, 12 November 2021.

Nadiem Makarim menegaskan, bahwa kementeriannya tidak mendukung apapun segala tindakan asusila dan hal yang melenceng dari norma agama. Menurutnya, anggapan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang dianggap melegalkan zina perlu diluruskan.

"Satu hal yang perlu diluruskan juga mohon menyadari bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sama sekali tidak mendukung apapun yang tidak sesuai dengan norma agama dan tindakan asusila," ujarnya.

Nadiem menegaskan, Permendikbud itu hanya menyasar kepada satu jenis kekerasan yaitu kekerasan seksual dengan definisi yang sangat jelas. Sehingga, Kemendikbud sangat spesifik pada saat menentukan peraturan tersebut.

"Ada banyak aktivitas di luar yang mungkin tidak sesuai norma agama dan aturan etika yang bisa diatur di peraturan peraturan lain, dan juga peraturan-peraturan yang ditetapkan universitas secara mandiri," Nadiem.

"Tapi target dari permendikbud ini adalah untuk melindungi puluhan ribu bahkan ratusan ribu korban dan untuk mencegah terjadinya kontinyuasi dari pada korban korban ini di lingkungan kampus," jelasnya.

Lebih lanjut, Nadiem mengajak para masyarakat terutama di lingkungan kampus untuk bersuara jika mengalami atau melihat tindakan kekerasan seksual. Dia bilang, inilah sebagai bangsa mengambil posisi yang keras dan tegas.

"Untuk bilang tidak kepada pelaku kekerasan seksual dan untuk memberikan peringatan yang sangat tegas untuk mereka yang memikirkan melakukan hal-hal seperti ini bisa dilakukan di dalam kampus," kata Nadiem.

"Permen ini adalah refleksi dari hasil tersebut, permen ini adalah suatu sinyal kepada civitas akademika kita bahwa pemerintah hadir untuk melindungi anda, pemerintah hadir untuk melindungi kita dan masa depan generasi penerus bangsa," pungkasnya.***