New Normal, Akademisi: Jangan Buat Masyarakat Bingung dengan Istilah-istilah Baru

New Normal, Akademisi: Jangan Buat Masyarakat Bingung dengan Istilah-istilah Baru
WJtoday, Bandung -  Istilah tatanan normal baru (new normal) bergulir di tengah pandemi Corona di Indonesia, meski laporan harian yang bisa juga disimplifikasi sebagai kurva Covid-19 di Indonesia belum ada tanda-tanda melandai. 

Kemudian muncul lagi istilah Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) yang disebutkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang kurang lebihnya sama maksudnya dengan tatanan normal baru tersebut.

Belum cukup sampai di situ, Emil - sapaan akrab gubernur, menyebut lagi istilah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Proporsional. Ada lagi PSBB Mikro.

Menanggapi hal tersebut, dosen Universitas Langlangbuana Bandung, Toto Suharto, S.kom, MT, mengatakan dengan adanya istilah-istilah baru di tengah pandemi Covid-19 ini justru malah membuat masyarakat menjadi bingung.

"Hentikan sebut istilah-istilah baru, Seragam saja seperti disebut di seluruh dunia, new normal atau normal baru. PSBB cukup segitu saja, jangan ditambah-tambah. Masyarakat awam terutama akan menjadi bingung." kata Toto kepada WJtoday di Bandung, Sabtu (30/5/2020).

Dia menambahkan untuk satu istilah saja, sebut new normal, masyarakat awam pasti belum banyak yang paham.

"Coba tanyakan ke masyarakat apa itu pengertian new normal dan implementasinya, kemudian apa yang harus dilakukan. Saya berpendapat pasti masih banyak yang belum memahami." Ujar Toto yang juga pemerhati maslah informatika dan konsultan smart city ini.

Dia menegaskan yang paling penting adalah edukasi melalui sosialisasi yang masif.

"Yang paling penting adalah edukasi terhadap masyarakat agar esensi dari penerapan normal baru benar-benar dipahami masyarakat. Jangan berkutat dengan gonta-ganti istilah. Malah menambah kebingungan serta nambah keresahan mereka." terangnya.

"Dan di balik semuanya, ketegasan yang paling utama. Jangan sampai pelanggaran-pelanggaran yang banyak dilakukan warga selama penerapan PSBB terulang di saat penerapan normal baru." imbuhnya.

Selain itu, ditambahkannya, menuju tatanan normal baru diperlukan persiapan yang harus  konsisten. Jangan lagi ada peraturan yang berubah-ubah atau perbedaan suara.

Jika tidak demikian menurutnya, dikhawatirkan membuat masyarakat menjadi bingung kemudian malah tidak respek dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Kalau sudah begitu, bukan pencegahan nantinya yang akan tampak, melainkan pengabaian yang berpotensi pada sikap anarki di tengah masyarakat.

Namun Toto tetap mengapresiasi langkah cepat yang dilakukan pemerintah, terutama di Jabar, yang terus berupaya menghentikan wabah virus mematikan tersebut.

"Semoga semua upaya menghentikan pandemi Covid-19 ini segera berbuah hasil, dan semuanya kembali menjadi normal, bukan menjadi normal yang baru." pungkasnya.


Masyarakat dan Buruh Dibuat Bingung
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal berpendapat, istilah new normal bisa membuat para buruh dan masyarakat kecil di Indonesia kebingungan. Apalagi melihat jumlah pasien positif Corona semakin meningkat setiap harinya. 

"Saat ini saja ketika masih diberlakukan PSBB banyak yang tidak patuh. Apalagi jika diberi kebebasan," kata Said Iqbal dalam siaran pers, Kamis (28/5/2020).

Lantas KSPI menyarankan pemerintah tidak menggunakan istilah new normal, melainkan tetap menggunakan istilah physical distancing yang terukur. Misalnya, kalangan buruh yang bekerja di perusahaan diliburkan secara bergilir untuk mengurangi keramaian di tempat kerja.

"Dengan jumlah orang yang keluar rumah untuk bekerja berkurang, maka physical distancing lebih mudah dijalankan. Inilah yang terukur. Sehingga di samping panyebaran pandemic Corona bisa ditekan, ekonomi bisa tetap bergerak dan tumbuh," ujar dia.

Said Iqbal menegaskan kebijakan new normal tidak tepat. KSPI memberikan lima fakta yang menjadi alasan bagi mereka tidak setuju dengan sebutan itu.

Fakta pertama, jumlah orang yang positif Corona masih terus meningkat. Bahkan, pertambahan pasien positif setiap harinya masih mencapai ratusan.

"Fakta kedua, sejumlah buruh yang tetap bekerja akhirnya positif terpapar Corona. Hal ini bisa dilihat, misalnya di PT Denso Indonesia dan PT Yamaha Music, ada yang meninggal akibat positif terpapar Covid-19. Begitu juga di Sampoerna dan PEMI Tangerang, dilaporkan ada buruh yang OPD, PDP, bahkan positif," ucap Said Iqbal.

Selanjutnya, saat ini banyak pabrik yang sudah merumahkan dan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat bahan baku material impor semakin menipis dan bahkan tidak ada. 

Seperti yang terjadi di industri tekstil, bahan baku kapas makin menipis. Industri otomotif dan elektronik, suku cadang juga mengalami hal yang sama. Begitu juga dengan Industri farmasi, bahan baku obat sudah menipis. Sementara di industri pertambangan, jumlah ekspor bahan baku menurun.

"Fakta ini menjelaskan new normal tidak akan efektif. Percuma saja menyuruh pekerja untuk kembali masuk ke pabrik karena tidak ada yang bisa dikerjakan, akibat tidak adanya bahan baku," kata dia.

Fakta keempat, PHK besar-besaran juga sudah terjadi di industri pariwisata, UMKM, dan sepinya order yang diterima transportasi online hingga kini belum ada solusi. Bahkan di industri manufaktur, ancaman PHK terhadap ratusan ribu buruh sudah di depan mata.

Menghadapi situasi PHK besar-besaran saat ini, yang dibutuhkan bukan new normal. Harapan yang diinginkan saat ini adalah mempersiapkan solusi terhadap ancaman PHK agar jutaan buruh bisa bekerja kembali. Tidak dengan meminta masyarakat mencari kerja sendiri.

"Seharusnya pemerintah memaksimalkan pemberian bantuan langsung tunai dan memberikan subsidi upah. Bukan meminta bekerja kembali di tengah pandemi yang mengancam hilangnya nyawa. Lagi pula, bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan, akan kembali bekerja di mana?" ucap dia.

Kata dia, tanpa new normal sebenarnya masih banyak perusahaan yang masih meminta buruhnya tetap bekerja. Dengan kondisi ini, sebenarnya yang dibutuhkan para buruh dan pengusaha bukan new normal. Tetapi regulasi dan strategi untuk memastikan bahan baku impor bisa masuk dan selalu tersedia di industri.

"Di sisi lain penting untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar. Karena sebagian perusahaan meliburkan karyawan atau melakukan PHK akibat profit perusahaan menipis bahkan negatif, akibat mereka harus membeli bahan baku dari impor dengan harga dolar dan menjual dengan rupiah yang sudah terpuruk," ujar Said Iqbal. ***