NU Tolak Kebijakan 5 Hari Full Day School, Ini Alasannya

NU Tolak Kebijakan 5 Hari Full Day School, Ini Alasannya

WJtoday, Jakarta - Gelaran Forum Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2023 mengeluarkan rekomendasi putusan termasuk Komisi Qanuniyyah atau perundang-undangan terkait kebijakan lima hari sekolah dan kegiatan belajar-mengajar dimulai dari pagi hingga sore hari (full day school).

"Rekomendasi kami kepada munas adalah tidak melaksanakan full day school yang diterjemahkan dari lima hari kerja ini," Ujar KH Abdul Ghaffar Razin selaku Koordinator Komisi Bahtsul Masail Qonuniyyah dalam konferensi pers Munas dan Konbes pada hari Selasa (19/9/2023).

Ada dua alasan NU mengeluarkan rekomendasi itu. KH Abdul Ghaffar Razin atau yang kerap disebut Gus Rozin, mengatakan kebijakan penerapan lima hari sekolah yang telah berlaku di beberapa wilayah bersandar pada Peraturan Presiden yang menyangkut tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai Aparatur Sipil Negara alias Perpres Nomor 21 tahun 2023.

Dalam Pasal 3 ayat dua (2), disebutkan hanya terjadi pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat. Peraturan Presiden ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara.

Namun, Perpres ini mulai diartikan kurang tepat, yaitu sekolah juga harus dilaksanakan dalam waktu lima hari namun dengan durasi lebih panjang atau disebut juga dengan full day school.

"Di beberapa tempat sudah dilakukan lima hari sekolah yang ditafsirkan dari lima hari kerja. Sebuah peraturan presiden tahun 2023 yang menjelaskan bahwa kita itu mempunya lima hari kerja. Mulai dari Senin sampai Jumat, tapi di beberapa tempat diterjemahkan pula lima hari sekolah dan sepanjang hari," Imbuh Gus Rozin. 

Gus Rozin mengatakan, Komisi Bahtsul Masail Qonuniyyah telah sepakat dengan dua alasan penolakan kebijakan lima hari sekolah yang ditinjau dari aspek sosiologis dan yuridis.

Dari segi sosiologis, Gus Rozin menegaskan bahwa kebijakan sekolah lima hari full day berpotensi membuat pembelajaran pendidikan karakter dan pendidikan keagamaan yang biasanya didapat dari madrasah diniyah sore seusai sekolah umum tidak berjalan maksimal.

"Membahas dari aspek manfaat dan madharatnya mengingat di Nahdlatul Ulama kita mempunyai dua landasan, landasan sosiologisnya adalah Nahdlatul Ulama mempunyai sekian banyak madrasah diniyah dan TPQ yang kemudian kalau full day school, lima hari sekolah dan sepanjang hari ini dilaksanakan maka kemudian pendidikan karakter dan pendidikan keagamaan dasar yang tawasuth i’tidal moderat akan tidak menjadi maksimal atau terancam," ungkapnya. 

Gus Rozin juga menjelaskan dasar hukum yang mendukung penolakan terhadap kebijakan sekolah selama lima hari.

Penyebabnya karena Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, yang mencabut ketentuan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Lima Hari Kerja.

Pencabutan Permendikbud ini dikarenakan kedudukan yang lebih tinggi dan kemutakhiran regulasi yang terdapat dalam Perpres tersebut.

Gus Rozin mengatakan idealnya sekolah dilaksanakan sejak pagi sampai siang hari. Kemudian, para siswa melanjutkan belajar keagamaan di Taman Pendidikan Alquran (TPQ) atau di madrasah pada sore harinya.

Gus Rozin menuturkan TPQ dan madrasah ini memiliki peranan penting dalam konteks pemahaman keagamaan yang moderat dan rahmatan lil alamin kepada anak-anak.

Menurut Gus Rozin, sekolah lima hari full day sejak pagi sampai sore justru membuat stamina anak-anak terlanjur terkuras. Karena itu, ada kemungkinan anak-anak enggan untuk mengikuti lagi kegiatan keagamaan di TPQ.***