Observatorium Bosscha, Tempat Penelitian Astronomi Modern Kini Sudah Berusia Seabad

Observatorium Bosscha, Tempat Penelitian Astronomi Modern Kini Sudah Berusia Seabad
Lihat Foto

WJtoday, Bandung - Observatorium Bosscha di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), genap berusia 100 tahun, pada Januari 2023. 

Mengenal Pendiri dan Sejarah Berdirinya Observatorium Bosscha

Observatorium Bosscha yang diresmikan pada 1 Januari 1923 atas prakarsa K.A.R Bosscha bersama Nederlandsch – Indische Sterrenkundige Vereeniging (Perhimpunan Bintang Hindia Belanda).

Karel Albert Rudolf Bosscha atau dipanggil Bosscha maka yang terbayang adalah sebuah observatorium atau lokasi meneropong bintang.

Nama Bosscha diabadikan sebab dialah yang berjasa mendirikan observatorium itu.

Observatorium Bosscha dibangun atas inisiasi Karel Albert Rudolf (K.A.R.) Bosscha.

Dibantu oleh kemenakannya, R.A. Kerkhoven dan seorang astronom Hindia Belanda, Joan George Erardus Gijsbertus Voûte, Bosscha menghimpun para peminat untuk membentuk sebuah perkumpulan yang akan merealisasikan ide pembangunan observatorium.

Dilansir dari bosscha.itb.ac.id, pada pertemuan 12 September 1920 di Hotel Homann Bandung, dibentuk Perhimpunan Astronomi Hindia Belanda atau Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereniging (NISV) yang memiliki tujuan spesifik “mendirikan dan memelihara sebuah observatorium astronomi di Hindia Belanda, dan memajukan ilmu astronomi”.

Karel Bosscha bersedia menjadi penyandang dana utama dan berjanji akan memberikan bantuan pembelian teropong bintang.

Sebagai penghargaan atas jasa K.A.R. Bosscha dalam pembangunan observatorium ini, maka nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini.

Observatorium Bosscha diresmikan pada 1 Januari 1923.

Pada 17 Oktober 1951, NISV secara resmi menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI. Oleh pemerintah Republik Indonesia, observatorium ‘dititipkan’ untuk menjadi bagian dari FIPIA Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung.

Bersamaan dengan itu dimulailah secara resmi pendidikan tersier astronomi di Indonesia.

Hingga kini ITB masih merupakan satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang menjalankan pendidikan sarjana, magister, dan doktoral dalam astronomi dan astrofisika.

Observatorium Bosscha juga masih merupakan observatorium astronomi terbesar di Indonesia dengan kontribusi dalam penelitian dan pendidikan astronomi yang signifikan di Asia Tenggara.

Selain mengemban tugasnya dalam penelitian dan pendidikan, Observatorium Bosscha melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat, baik dalam bentuk kegiatan rutin maupun kegiatan yang sifatnya insidental bergantung pada terjadinya fenomena astronomi yang menarik.

Observatorium Bosscha pun membuka peluang kolaborasi dan belajar bagi mahasiswa maupun peneliti dari berbagai tempat di seluruh dunia.

Peneliti dan mahasiswa dari berbagai tempat telah datang untuk melakukan pengamatan astronomi, melakukan analisis data astrofisika, belajar instrumentasi, dan lain sebagainya.

Observatorium Bosscha juga menerima mahasiswa maupun peneliti yang ingin belajar topik-topik non–astronomi yang relevan, misalnya tentang sejarah, bangunan, manajemen, serta lingkungan di Observatorium Bosscha.

Sejak 2004 Observatorium Bosscha dicanangkan sebagai Cagar Budaya Nasional, dan pada tahun 2008 ditetapkan sebagai Objek Vital Nasional.

Melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 184/M/2017, Observatorium Bosscha ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya tingkat Nasional melalui penilaian atas kualitas kondisi fasilitas lahan dan fisik gedung dan instrumentasi observatorium, koleksi hasil pengamatan dan pustaka yang tak ternilai, dan juga bahwasanya Observatorium Bosscha masih terus berkontribusi pada sains astronomi dan pada upaya pencerdasan bangsa Indonesia.

Pada 2021, Observatorium Bosscha diangkat sebagai bangunan cagar budaya peringkat Kabupaten melalui surat Keputusan Bupati Bandung Barat 188.45/Kep.731-Disparbud/2021. 

Polusi Cahaya Masih Jadi Ancaman

Di usia satu abad, tempat pengamatan benda langit pertama di Indonesia ini masih mendapat ancaman serius dari polusi cahaya.

Akibat polusi cahaya, luas pengamatan di Observatorium Bosscha mengalami pengurangan. Meski masih melakukan pengamatan dengan baik, kegiatan pengamatan di bagian selatan terhalang bauran cahaya artifisial dari Kota Bandung dan di wilayah utara terdampak polusi dari Kota Lembang.

Kepala Observatorium Bosscha, Premana W. Premadi mengatakan agar terhindar dari polusi cahaya, pengamatan mesti dilakukan 30 derajat di atas ufuk dan dilakukan di atas pukul 22.00 WIB. Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa penanganan, bukan tak mungkin makin parah. Pasalnya, sejumlah teleskop memiliki batas jarak pengamatan.

"Kita punya berbagai jenis teleskop dengan jarak pengamatan terbatas. Jadi sampai saat ini dengan teleskop yang ada masih bisa mengamat dengan baik diatas 30 derajat di atas horizon, tapi jangan keterusan polusi cahayanya," kata Premana, Senin, 16 Januari 2023.

"Ke arah selatan kita sudah terganggu Kota Bandung, ke utara terganggu Kota Lembang. Tapi di atas 30 derajat kita masih mengamat dengan baik, apalagi jam 10 malam sampai pajar, bertepatan dengan malam cerah, agar masih bersih dari polusi cahaya," tambahnya.

Polusi cahaya dari wilayah Bandung Raya terus mengalami peningkatan signifikan dan mulai mengganggu aktivitas astronomi di Observatorium Bosscha sejak tahun 1980-an. Hal ini terjadi seiring terjadinya pertambahan jumlah penduduk serta peralihan kegiatan ekonomi dari pertanian dan peternakan ke sektor wisata.

"Tahun 80-an kita sudah punya dokumentasi foto cahaya artifisial dari Kota Bandung, ini terus meningkat hingga sekarang. Ditandai transisi bisnis di sini dari pertanian dan peternakan yang tak perlu cahaya di malam hari. Bergeser menjadi tempat komersial, penginapan, toko, rumah makan, wisata, kendaraan, dan jumlah masyarakat makin banyak," tambahnya.

Dampak polusi cahaya bukan saja menghambat kegiatan pengamatan benda langit, tapi juga berdampak ke hewan-hewan yang beraktivitas pada malam hari atau nokturnal. Jadi semua pihak mulai harus mulai mengantisipasi masalah ini.

"Kalau soal polusi cahaya astronomi paling ribut soal itu. Tapi ada yang gak bisa ribut yakni hewan-hewan nokturnal atau binatang yang amat bergantung pada cahaya natural. Misalnya, penyu sangat bergantung pada bulan purnama, bayangkan kalau cahaya itu jadi membingungkan mereka," papar Premana.

Menurutnya, polusi cahaya sebenarnya jenis polusi yang bisa dicegah dengan mudah jika semua pihak mau serius. Dari sisi regulasi misalnya membuat aturan pemanfaatan cahaya. Jika tidak bisa dengan langkah sederhana yakni membuat tudung lampu.

"Di Indonesia belum ada (aruran khusus), tapi sebenarnya sudah ada peraturan Gubernur dan Presiden tentang perlindungan terkait Observatorium. Hanya saja turunnya belum sapai ke regulasi menekan polusi cahaya," jelasnya.

"Boscha konsisten membuat tudung lampu di bagi ke masyarakat. Intinya bukan kita mendorong manusia hidup dalam gelap, tapi posisinya lampunya ke bawah, karena yang perlu diteragi kan di bawah," tandasnya.***