Persoalan di Balik Autopsi Ulang Brigadir J

Persoalan di Balik Autopsi Ulang Brigadir J

WJtoday, Bandung - Autopsi ulang atas Brigadir  Jatau Nofriansyah Yosua Hutabarat, menimbulkan sejumlah persoalan, selain berpotensi terjadi perbedaan simpulan hasil, proses autopsi pun mempunyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi karena faktor pembusukan jenazah dan faktor tindakan yang telah dilakukan pada autopsi sebelumnya.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Mediasi kesehatan Rakyat dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (27/7/2022), menyebutkan kemungkinan hasil autopsi ulang yang akan diperoleh adalah sama dengan hasil autopsi yang pertama atau berbeda atau ada temuan baru dibandingkan hasil autopsi sebelumnya.

Perbedaan hasil autopsi akan menimbulkan persoalan pada penanganan kasus selanjutnya. Hasil autopsi mana yang akan digunakan dalam proses persidangan? 

Dampak berikutnya, bagaimana nasib para dokter yang melakukan pemeriksaan pada autopsi sebelumnya? Apakah para dokter tersebut bisa dipersalahkan? Apakah ada faktor tekanan dalam menyimpulkan hasil autopsi? Apakah terjadi pelanggaran etik, disiplin dan hukum?

Apabila terjadi perbedaan hasil autopsi dan terbukti para dokter telah melakukan pelanggaran etika, disiplin dan hukum, Kode Etik Kedokteran Indonesia khususnya Pasal 14 menyatakan:

”Seorang Dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu”.

Selain itu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya Pasal 51 ayat (a) menyatakan Dokter mempunyai kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. 

Lalu berdasarkan Pasal 242 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dinyatakan: 

“Barang siapa dalam hal–hal yang menurut peraturan undang-undang menuntut sesuatu keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun”.

Persoalan berikutnya adalah tidak optimalnya proses autopsi ulang yang dilakukan karena jenazah telah mengalami pembusukan dan faktor tindakan yang telah dilakukan pada autopsi sebelumnya.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Mediasi Kesehatan Rakyat menilai pada jenazah yang telah mengalami pembusukan, bukti-bukti yang terdapat pada jenazah akan semakin kabur. Idealnya, semua prosedur dalam bongkar makam memang harus dilakukan sesegera mungkin sehingga bukti-bukti masih dapat ditemukan.

Sebagaimana diketahui, autopsi atau bedah mayat dilakukan dengan membuka semua rongga mulai dari kepala, leher, dada dan perut serta melakukan pemeriksaan organ-organ untuk mengetahui adanya kelainan akibat kekerasan maupun penyakit. 

Bila diperlukan dapat dilakukan pengambilan sampel isi lambung, darah, urin maupun sebagian jaringan untuk dilakukan pemeriksaan toksikologi atau histopatologi. 

Berbeda dengan autopsi klinis, autopsi forensik dilakukan pada kasus kematian yang mencurigakan, disertai kekerasan, atau tidak diketahui penyebabnya.

Autopsi Forensik dilakukan setelah ada permintaan dari Penyidik yang berwenang sesuai dengan Pasal 133 KUHAP:
1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Ekshumasi merupakan tindakan penggalian kembali jenazah yang telah dikubur. Tujuan dari prosedur ini adalah untuk kepentingan peradilan dalam upaya pembuktian suatu kasus dengan mengidentifikasi jenazah guna memastikan penyebab kematian. 

Dasar hukum penggalian mayat adalah Pasal 135 KUHAP yang menyatakan:

"Dalam hal Penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal 134 ayat (1)."

Kasus ini akan menjadi pembelajaran. Semoga penegakan hukum di negeri tercinta ini menjadi lebih baik dengan prosedur yang benar, imparsial , independen dan transparan.  ***