Risih Kata Cina Diganti Tionghoa, Ernest Prakasa: Kayak Nggak Mau Damai dengan Sejarah

Risih Kata Cina Diganti Tionghoa, Ernest Prakasa: Kayak Nggak Mau Damai dengan Sejarah

WJtoday, Jakarta - Artis sekaligus komika, Ernest Prakasa mengungkap keresahan tentang penggantian kata Cina menjadi Tionghoa sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Datang sebagai bintang tamu dalam acara Maling di kanal YouTube HAS Creative, Ernest Prakasa mengaku lebih nyaman disebut orang Cina.

"Gue termasuk yang nggak suka sama kata-kata Tionghoa sih," ungkapnya, dikutip Selasa (3/5/2022).

Dalam lanjutannya, Ernest Prakasa bahkan mengaku risih dengan kemunculan istilah etnis Tionghoa.

"Jadi kalau misal di forum formal yang misal pakai kata Cina terlalu kasar, gue lebih larinya pakai kata Chinese. Kan artinya sama, cuma dari Bahasa Indonesia diganti ke Bahasa Inggris saja kan," kata lelaki 40 tahun.

Ernest Prakasa kemudian menjelaskan kenapa dirinya lebih suka istilah orang Cina dibanding sebutan Tionghoa.

"Menurut gue, dengan menjauhi kata Cina tuh kayak nggak mau berdamai dengan sejarah," terang sang komika.

Ernest Prakasa memang tidak bisa menampik bahwa orang Cina punya sejarah kelam di Indonesia. Namun sangat tidak arif baginya bila segala hal berbau Cina dikaitkan dengan cerita masa lalu.

"Memang kata itu bebannya berat, tapi mau sampai kapan? Kan nggak harus kata Cina ini dibebankan sama sejarah dalam setiap konteks penggunaannya," tutur suami Meira Anastasia.

Alih-alih menghargai orang-orang Cina yang punya cerita pahit di era kerusuhan 1998, Ernest Prakasa malah menganggap istilah Tionghoa semakin melukai mereka.

"Buat gue, itu kayak memelihara luka saja," tegasnya.

Penggantian kata Cina menjadi Tionghoa di Indonesia diganti saat era Presiden SBY lewat Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014. Dalam Keppres yang ditandatangani pada 14 Maret 2014 itu, Presiden SBY menilai, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seorang, kelompok, komunitas dan/atau ras tertentu, pada dasarnya melanggar nilai, prinsip perlindungan hak asasi manusia.

“Karena itu, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” bunyi poin b Keppres tersebut.

Dikutip dari laman Setkab.go.id, dalam diktum menimbang Keppres itu disebutkan, bahwa ketika UUD 1945 ditetapkan, para perumus UUD tidak menggunakan sebutan Cina melainkan menggunakan frasa peranakan Tionghoa bagi orang-orang bangsa lain yang dapat menjadi warga negara apabila kedudukan dan tempat tinggalnya di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersikap setia kepada negara Republik Indonesia.***