Sejarah dan Legenda Kue Keranjang Khas Imlek

Sejarah dan Legenda Kue Keranjang Khas Imlek

Wjtoday, Jakarta - Tahun baru Imlek identik dengan barongsai dan kue keranjang untuk disajikan dan dibagikan kepada kerabat.

Kue yang mirip dengan dodol ini, memiliki tekstur yang lengket, manis dan bikin ketagihan.

Bentuknya yang khas bulat dan berwarna cokelat tentu sudah dikenal banyak orang. Tapi bagaimana dengan sejarah dan asal usulnya?

Dikutip dari Wikipedia, kue keranjang memiliki nama asli Nian Gao atau Ni-Kwe yang disebut juga kue tahunan karena hanya dibuat setahun sekali pada masa menjelang tahun baru Imlek.

Di Jawa Timur disebut sebagai kue keranjang sebab dicetak dalam sebuah "keranjang" bolong kecil, sedangkan di beberapa daerah di Jawa Barat ada yang menyebutnya Dodol Cina untuk menunjukkan asal kue tersebut yaitu Cina, walaupun ada beberapa kalangan yang merujuk pada suku pembuatnya, yaitu orang-orang Tionghoa.

Sedangkan dalam dialek Hokkian, ti kwe berarti kue manis, yang menyebabkan orang-orang tidak sulit menebak kalau kue ini rasanya manis.

Ada banyak sekali cerita dan legenda yang menceritakan asal usul dari kue keranjang ini . Legenda tersebut dibawa oleh para orang tionghoa yang bermigrasi di Indonesia.

Pertama, kue keranjang atau biasa disebut Nian Gao ini berasal dari kisah tentang raksasa jahat dan pemuda di sebuah desa di dataran Tiongkok. Diceritakan, raksasa jahat bernama Nian tersebut kerap mengganggu manusia dan segala mahluk yang tinggal di Tiongkok. Tak hanya mengganggu, raksasa jahat ini pun memangsa manusia.

Suatu waktu, pemuda baik hati bernama Gao datang ke desa tersebut. Mendengar perbuatan jahat sang raksasa, Gao memiliki ide untuk mengusir raksasa tersebut. Dia meminta warga desa untuk membuat kue manis yang lengket untuk ditempelkan di depan pintu. Jadi, saat sang raksasa datang ke rumah untuk memangsa warga akan terkecoh dan teralihkan dengan manis dan lengketnya kue tersebut.

Kemudian, kisah lain menceritakan tentang kue keranjang yang tak bisa dijauhkan dari Dewa Dapur. Awal mula cerita kemunculan dewa dapur ini cukup panjang. Suatu hari hiduplah sepasang suami istri yang hidup dengan menjual makanan ringan. Kedua pasangan ini memiliki dua peruntungan yang berbeda. Sang suami selalu merasa dirinya kurang beruntung saat berjualan sedangkan makanan yang dijual istrinya selalu laris manis.

Karena merasa iri dengan rezeki yang didapatkan istrinya, sang suami memutuskan untuk menceraikan istrinya dan melanjutkan usahanya seorang diri. Namun, seiring berjalannya waktu, sang suami mengalami kebangkrutan dalam berusaha. Hidupnya menderita dan terlantar. Di sisi lain, sang istri malah hidup bergelimang rezeki karena kebaikan hatinya.

Suatu hari, sang istri tengah membuka dapur umum untuk para gelandangan. Dia membagi-bagikan makanan gratis. Saat itu, sang suami tak sengaja datang ke dapur umum tersebut untuk meminta sesuap nasi. Mengetahui keberadaan mantan suaminya di dapur umum, sang istri memberikan makanan yang di dalamnya terdapat barang pemberian sang suami.

Lalu, saat membuka makanan tersebut, sang mantan suami tersadar kalau barang tersebut merupakan barang milik istrinya dulu. Merasa malu dengan keadaannya sekarang, sedangkan di satu sisi istri yang dicampakkannya telah sukses, sang suami memilih untuk bunuh diri di dapur umum tersebut.

Arwahnya pun gentayangan. Menghantui rumah-rumah warga. Arwah ini pun yang akhirnya dikenal dengan Dewa Dapur. Setiap tahun sekali, dia pergi ke kayangan untuk melaporkan amal baik dan buruk pasangan yang menghuni rumah yang dikunjunginya. Jika para penghuni rumah tersebut beramal buruk, maka sang dewa akan memberikan kutukan.

Maka, agar Dewa Dapur memberikan laporan-laporan baik tentang kehidupan para penghuni rumah tersebut, warga setempat membuat kue manis sebagai penutup mulut dan melaporkan hal-hal yang manis.



Kue keranjang ini mulai dipergunakan sebagai sesaji pada upacara sembahyang leluhur, tujuh hari menjelang tahun baru Imlek, dan puncaknya pada malam menjelang tahun baru Imlek. Sebagai sesaji, kue ini biasanya tidak dimakan sampai Cap Go Meh (malam ke-15 setelah tahun baru Imlek).

Bentuknya yang bulat bermakna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang.

Di Cina terdapat kebiasaan saat tahun baru Imlek untuk terlebih dahulu menyantap kue keranjang sebelum menyantap nasi sebagai suatu pengharapan agar dapat selalu beruntung dalam pekerjaannya sepanjang tahun.

Pada zaman dahulu banyaknya atau tingginya kue keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah. Biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkuk berwarna merah di bagian atasnya. Ini adalah sebagai simbol kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkuk.

Kue yang terbuat dari beras ketan dan gula ini dapat disimpan lama, bahkan dengan dijemur dapat menjadi keras seperti batu dan awet. Sebelum menjadi keras kue tersebut dapat disajikan langsung, akan tetapi setelah keras dapat diolah terlebih dahulu dengan digoreng menggunakan tepung dan telur ayam dan disajikan hangat-hangat. Dapat pula dijadikan sebagai bubur dengan cara dikukus kemudian ditambahkan bumbu-bumbu kesukaan. ***

 #Dikutip dari Berbagai Sumber