Apa yang Akan Terjadi Jika Donald Trump Kalah ?

Apa yang Akan Terjadi Jika Donald Trump Kalah ?
WJtoday, Washington - Apa yang terjadi di Amerika Serikat jika Donald Trump kalah ? Itulah pertanyaan yang menyeruak seiring perhitungan suara yang kini lebih mengunggulkan Biden.

Trump sejauh ini memang terus menyuarakan soal kecurangan dalam penghitungan suara.Tim kampanyenya telah mengajukan dibeberapa negara bagian untuk melakukan hitung ulang.

Menanggapi kicau kecurangan dari Trump,Joe Biden sendiri percaya jika Donald Trump kalah,ia akan menolak meninggalkan Gedung Putih.

"Banyak pensiunan jenderal yang dulu bekerja untuknya akan mengawalnya keluar dari Gedung Putih segera," ungkap Biden Rabu (6/10) malam.

Biden, kini semakin mendekati kursi kepresidenan setelah secara dramatis suaranya mampu melampaui Trump di Pennsylvania dan Georgia.

Tetapi Trump telah memperjelas bahwa dia tidak siap untuk menyerah, meluncurkan klaim penipuan pemilih yang tidak berdasar dan mengklaim secara salah bahwa dia telah dicurangi dalam pemilihan ulang.

Dalam sebuah wawancara dengan Fox News pada bulan Juli, Trump menolak untuk berkomitmen menerima hasil pemilu dan transfer kekuasaan secara damai jika dia kalah.

“Catat kata-kata saya, saya yakin dia akan mencoba untuk mencurangi pemilu dan mengada-ada dengan beberapa alasan mengapa pemilu kali ini penuh dengan kecurangan,” tutur Biden pada April 2020.

Namun, menurut analisis Chris Cillizza dari CNN, bahaya sebenarnya di sini bukanlah Trump akan mengubah tanggal pemilihan umum atau berusaha untuk mengklaim hak mutlak atas kepemimpinan di Gedung Putih.

Suatu hal yang dapat mengancam potensi kepresidenan Biden dan kemampuan Amerika Serikat untuk beralih dari salah satu pemilu paling kotor dalam sejarah modern adalah jika Trump menolak untuk mengakui kekalahan. 

Trump kemungkinan juga tidak akan mengakui kemenangan Biden sebagai Presiden AS secara adil.

Dilihat dari sejarah panjang Trump menolak untuk mengakui kekalahan dan justru mengklaim sebagai korban kecurangan pasukan jahat, kemungkinan besar ia akan mengandalkan strategi itu lagi jika kalah pada perhitungan final nanti.

Ini rekam jejak Donald Trump yang tidak pernah mau mengakui kekalahan :
Ketika Trump kalah dalam kaukus negara bagian Iowa dalam serangkaian Pilpres AS 2016 dari Senator Texas Ted Cruz, ia berpendapat ia telah dicurangi. “Ted Cruz tidak memenangkan Iowa, dia mencurinya,” tulis Trump di Twitter. “Itulah sebabnya semua jajak pendapat itu sangat salah dan mengapa dia mendapat lebih banyak suara daripada yang diperkirakan. Sangat buruk!”

Ketika Trump kalah dalam Popular Vote dari Hillary Clinton pada Pilpres AS 2016, bahkan saat Trump memenangkan Electoral College dan kursi kepresidenan. Trump telah mengklaim tanpa bukti, 3 hingga 5 juta suara ilegal telah diberikan kepada Clinton.

Menyusul kekalahan Partai Republik atas mayoritas kursi DPR pada pemilihan paruh waktu 2018, Trump menyatakan Republik telah menjadi korban kecurangan Partai Demokrat. “Ada sesuatu yang terjadi di sini. Bisakah kalian merasa sedikit lebih paranoid daripada sekarang?”

Sebelum pemilihan khusus DPR negara bagian California pada Mei 2020 yang kemudian dimenangkan oleh Partai Republik, Trump menulis di Twitter, “Partai Demokrat sedang mencoba untuk mencuri pemilihan lain. Semuanya dicurangi di sana.”

Jadi jelas terlihat pola kecenderungan Trump untuk meneriakkan potensi kecurangan pemilu oleh lawan jika dia kalah.

Mengingat sejumlah komentarnya di masa lalu, bahkan dalam Pilpres AS 2016 yang dia menangkan, ada alasan untuk percaya bahkan jika Trump meninggalkan Gedung Putih pada Januari 2021, dia tidak akan pernah mengakui dia kalah. 

Hal itu akan menimbulkan konsekuensi besar tidak hanya pada politik bangsa, tetapi juga pada pondasi luas di mana demokrasi Amerika telah dibangun.

Sangat berbeda dengan Al Gore
Bandingkan dengan kejadian pada Pilpres Amerika 2000, setelah lebih dari sebulan dengan ketidakpastian tentang siapa yang benar-benar memenangkan negara bagian Florida, Al Gore tidak hanya mengakhiri kampanyenya tetapi juga menyerukan seruan besar untuk persatuan di Amerika Serikat.

“Malam ini, demi persatuan kita dengan rakyat dan kekuatan demokrasi kita, saya menawarkan konsesi saya,” tegas Gore pada 13 Desember 2000. 

“George W. Bush maupun saya tidak mengantisipasi jalan yang panjang dan sulit ini, tentu saja tidak ada di antara kami yang menginginkannya terjadi, tetapi itu telah terjadi, dan sekarang itu telah berakhir. Semuanya terselesaikan, sebagaimana harus diselesaikan, melalui institusi terhormat dari demokrasi kita.”

“Demi persatuan kita dengan rakyat dan kekuatan demokrasi kita.”

“Terselesaikan, sebagaimana harus diselesaikan, melalui institusi terhormat dari demokrasi kita.”

Bisakah kita membayangkan Trump, dalam situasi yang sama di ambang kekalahan, melakukan atau mengatakan hal yang sama? Benar-benar mustahil bukan? Sulit membayangkan Trump akan mengaku kalah secara terhormat seperti itu jika jelas dia tidak memenangkan pemilu.

Untuk pasukan pendukung yang memujanya, mereka juga tidak akan pernah percaya bahwa Biden telah menang atau sebagai presiden yang diakui. Artinya, bagi sebagian Amerika, Biden akan dipandang sebagai presiden tidak sah dan oleh karena itu bukan seseorang yang perlu didengarkan.

Sangat mudah untuk membayangkan Trump (dengan lebih dari 80 juta pengikut Twitter dan potensi akan menjadi pimpinan jaringan televisi pasca-kepresidenan), terus menyuarakan keluhan kecurangan pemilu hari demi hari.

Trump memang memiliki kepentingan untuk melakukannya. Seperti yang telah dia tunjukkan berulang kali selama masa kepresidenannya, Trump sangat tidak memedulikan jabatan atau statusnya sebagai suar moral di dalam Amerika Serikat dan seluruh dunia.

Chris Cillizza dari CNN menyimpulkan, buntut dari kekalahan Donald Trump dalam Pilpres AS 2020 tidak sulit untuk dibayangkan: perpecahan yang bahkan lebih mendalam di dalam negeri antara pendukung Trump dan kalangan lainnya. Perpecahan itu akan membuat janji Joe Biden untuk menciptakan “One America” ​​lagi-lagi menjadi sekadar mimpi kosong.***