Kebijakan Impor Beras sebagai Pilihan Terakhir untuk Penuhi Stok

Kebijakan Impor Beras sebagai Pilihan Terakhir untuk Penuhi Stok

WJtoday, Jakarta - Sekitar dua tahun belakangan ini, Indonesia melakukan importasi beras cukup banyak. Jika ditotalkan untuk 2023 saja mencapai 3,5 juta ton dan tahun depan rencananya impor 2 juta ton.

Namun, Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi menegaskan kebijakan impor dilakukan sebagai alternatif terakhir di tengah dinamika produksi dan konsumsi yang mengalami pergeseran akibat perubahan iklim, fenomena El Nino, dan disrupsi akibat dampak pandemi.

Indonesia memerlukan produksi beras yang mampu melebihi dari 1 juta hektar per bulan. Sayangnya tahun ini produksi beras dalam negeri mengalami penurunan, sehingga pemerintah memutuskan untuk melakukan importasi.

"Kalau kita tidak menanam sampai dengan 1 juta hektare, maka neraca pangan kita defisit. Bapak Presiden Joko Widodo telah perintahkan untuk mempersiapkan produksi dalam negeri. Sebelumnya belum optimal kita kerjakan karena kondisi kekurangan air. Tetapi setelah November dan Desember, utamanya di Desember sudah ada hujan, sudah turun di beberapa tempat. Ini memang agar secara optimal, kita bersama-sama harus mendorong untuk tanam," kata Arief dalam keterangannya, dikutip Selasa(26/12/2023).

Untuk tahun depan pun, diproyeksikan produksi beras juga masih di bawah kebutuhan atau konsumsi masyarakat. Kebutuhan bulanan masyarakat Indonesia akan beras mencapai 2,6 juta ton, sementara produksi diprediksi hanya 1,1 juta ton.

"Dalam KSA (Kerangka Sampel Area) oleh BPS (Badan Pusat Statistik) menyebutkan areal tanam di bawah 1 juta hektar. Proyeksi tiga bulan ke depan pun kita sudah melihat bahwa dengan menanam di bawah 1 juta hektar, produksinya selama satu bulan akan di bawah angka kebutuhan konsumsi bulanan kita yang ada di 2,5-2,6 juta ton. Karena estimasinya produksi bulanan 900 ribu ton sampai 1,1 juta ton. Nah ini harus diantisipasi oleh kita semua," jelasnya.

Arief juga mengatakan importasi beras yang dilakukan pemerintah bukanlah hal yang membanggakan. Ia menitikberatkan ketersediaan pasokan pangan nasional tetap harus mengutamakan produksi dalam negeri.

"Perlu disampaikan ke masyarakat, bahwa kita tidak bangga melakukan importasi. Jadi ini harus diketahui oleh seluruh pihak, kita tidak bangga. Untuk ketersediaan nasional, kita harusnya memang mempersiapkan dengan baik dengan bersumber dari di dalam negeri. Jadi tetap mengutamakan produksi dalam negeri," papar Arief.

"Ketahanan pangan nasional kita itu harus berlandaskan kemandirian dan kedaulatan pangan sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. Jadi untuk komoditas pangan yang bisa kita produksi sendiri dari dalam negeri, kita harus optimalkan. Jadi ekonominya itu jangan ada di luar negeri. Kalau bisa, kita geser ke Indonesia, tentunya di-lead oleh kementerian teknis dan kita dukung bersama-sama. Nah Badan Pangan Nasional lebih ke arah pasca panen," sambungnya.

Terkait kunjungannya ke India, Arief juga mengungkapkan bahwa dalam kunjungan tersebut, pihaknya tengah mempelajari kondisi riil mengenai beberapa komoditas pangan seperti beras dan daging kerbau. Dalam hal perberasan, ia ingin mendalami kembali tawaran India sebelum adanya kebijakan pembatasan ekspor dari Pemerintah India.

"Kemudian yang menjadi concern kita dalam kunjungan ke India kali ini adalah kita ingin mengetahui kondisi riil tentang apa yang sebenarnya terjadi mengenai beras India. Sebenarnya beberapa waktu lalu, saya bersama Bapak Menteri Perdagangan pernah menerima perwakilan India dan konteksnya saat itu mereka tawarkan beras sebagai penyeimbang trade balance kedua negara. Namun setelah itu, Pemerintah India mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor beras, sehingga ini yang perlu kita dalami," ungkapnya.

"Mengenai daging kerbau, kita sedang pelajari bagaimana supply chain dan beberapa hal yang memang kita bisa bawa ke Indonesia. Misalnya seperti apa teknologi yang mereka miliki, lalu bagaimana ke depan kita harus melakukan breeding yang bisa dimulai dari fattening. Ini yang bisa kita lakukan di Indonesia. Kalau kita terus-menerus seperti ini, maka nanti kita akan kehilangan beberapa produk seperti yang sudah terjadi pada kedelai karena kita tidak bisa produksi dalam negeri," beber Arief.

Lebih lanjut, Arief mengatakan instansi yang ia pimpin bertugas mengkoordinasikan antara hulu dengan hilir agar tercipta kestabilan pangan di Tanah Air. Adanya stok pangan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) dan Cadangan Pangan Pemerintah Daerah (CPPD) juga perlu menjadi atensi bagi semua stakeholder pangan yang terkait.

"Jadi kami di Badan Pangan Nasional ini sekarang mengkoordinasikan antara hulu dengan hilir. Di hulu kita ingin harga di tingkat petani itu senantiasa terjaga baik dan yang sudah dilakukan adalah adjustment Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kemudian kita dorong BUMN pangan membeli stok pada saat terjadi over production. Selain itu, kami sudah mengerjakan FDP (Fasilitasi Distribusi Pangan), tapi ke depannya kita dorong penerapan teknologi penyimpangan pangan. NFA sudah menyalurkan total 30 unit prasarana dan sarana ke 8 provinsi dalam bentuk cold storage, reefer container, air blast freezer, dan heat pump dryer," urai Arief.

"CPP itu kita miliki bersama BUMN pangan. Kemudian CPPD silahkan bagi setiap pemimpin di daerah masing-masing untuk melakukan stocking. Misalnya untuk Indonesia bagian Timur, kami pastikan minimal ada 16 ribu ton CPP. Nanti pemerintah daerah agar terus siapkan CPPD dan anggarannya juga sudah ada. Jadi sebenarnya naif apabila ada satu daerah terjadi harga pangan yang tinggi, padahal Ibu Menteri Keuangan dan Bapak Menteri Dalam Negeri sudah menyiapkan dana BTT (Belanja Tidak Terduga) untuk melakukan berbagai upaya, termasuk untuk pendistribusian pangan dan GPM (Gerakan Pangan Murah)," pungkasnya.***