Kenapa Pasal dalam UU Cipta Kerja yang Sudah Disahkan DPR Dengan Mudah Dihapus?

Kenapa Pasal dalam UU Cipta Kerja yang Sudah Disahkan DPR Dengan Mudah Dihapus?
WJtoday, Jakarta - Adanya perubahan pasal dalam Undang Undang Cipta Kerja yang sudah diserahkan ke pemerintah, terus menuai reaksi beragam dari berbagai kalangan.

Anggota Ombudsman RI, Alvin Lie ikut mempertanyakan kenapa RUU yang sudah disahkan menjadi UU masih bisa diotak-atik.

Dia mengaku tidak habis pikir UU dirubah bahkan dihapus dengan begitu mudahnya.

"Naskah RUU yang sudah disahkan jadi UU dalam Rapat Paripurna DPR dapat dengan mudahnya diubah (hapus pasal)?" ujar Alvin Lie dalam cuitan akun Twitter pribadinya @alvinlie21 beberapa saat lalu, Jumat (23/10).

"DPR benarkan ada pasal omnibus law terbaru dihapus Setneg," imbuh Alvin Lie mengutip judul berita yang dipostingnya.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas menerangkan, Pasal 46 UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi itu memang seharusnya dihapus dari UU Ciptaker, karena terkait tugas Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas.

"Terkait Pasal 46 yang koreksi, itu benar. Jadi kebetulan Setneg yang temukan. Jadi, itu seharusnya memang dihapus, karena itu terkait dengan tugas BPH Migas," kata Supratman kepada wartawan, Kamis (22/10).

Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) menegaskan bahwa seharusnya UU yang telah disetujui dan disahkan di sidang paripurna DPR tidak lagi bisa diubah lewat forum atau lembaga lain.

UU itu bisa diubah hanya lewat paripurna lagi di gedung dewan. Sementara pengakuan Andi Agtas mengindikasi bahwa UU bisa sesuka hati ditambah atau diubah oleh pemerintah.

“Pengakuan ini benar-benar gila, menunjukan tatanan dan sistem bernegara telah rusak,” tegasnya, Jumat (23/10).

Kini publik pun semakin bertanya-tanya mengenai draf asli dari omnibus law UU Ciptaker. Sebab, terakhir NU dan Muhammadiyah menerima draf UU Ciptaker berjumlah 1.187 halaman. Sementara pimpinan DPR sudah menegaskan bahwa UU sapu jagat ini berjumlah 812 halaman.

“Ini benar-benar kejahatan konstitusi. Bukan saja cacat formal, tapi sudah kejahatan konstitusi,” tekan Iwan Sumule.

“Di era Jokowi banyak tatanan dan sistem bernegara rusak. Mundurlah!” sambung Iwan Sumule.

Dia mendesak DPR untuk segera bertindak atas perubahan ini. Jika tidak, maka peristiwa 1998 akan kembali terulang. Di mana rakyat akan datang dan menduduki gedung dewan.

Baginya, penghapusan pasal oleh Setneg tersebut semakin mengindikasi bahwa DPR RI sebenarnya tidak tahu apa yang mereka setujui dan sahkan di sidang paripurna. Sehingga saat ada pasal yang dihapus mereka tidak tahu.

“Setidaknya hal itu pernah diakui oleh pimpinan sidang Azis Syamsuddin yang mengatakan hanya ngecek secara random atau acak isi draf UU Omnibus Law yang disahkan,” tegasnya.***