Period Poverty: Isu Global yang Tabu, Krisis Kesehatan Perempuan

Period Poverty: Isu Global yang Tabu, Krisis Kesehatan Perempuan

WJtoday, Jakarta - Setiap bulan, jutaan perempuan di dunia menghadapi sebuah tantangan berupa siklus menstruasi. Menstruasi merupakan siklus bulanan yang ditandai dengan keluarnya lapisan darah melalui alat reproduksi wanita dan berasal dari dinding rahim.

Selama mengalami siklus menstruasi, perempuan membutuhkan berbagai produk kesehatan yang memang penting untuk menjaga organ reproduksi dan kesehatan badan seorang perempuan. Akses untuk membeli dan mendapatkan produk-produk ini menjadi hak untuk setiap perempuan tanpa pengecualian.

Setiap perempuan berhak mendapatkan akses dan hak untuk memperoleh produk-produk yang berkaitan dengan menstruasi. Produk-produk tersebut antara lain adalah pembalut, menstrual cup, tampon, toilet, dan penanganan limbah menstruasi yang baik.

Hak ini termasuk dalam Hak Asasi Manusia karena menstruasi merupakan kondisi yang alamiah terjadi dan dirasakan oleh perempuan.

Period poverty merupakan kondisi yang merujuk pada minimnya akses pada produk sanitasi dan minimnya pengetahuan mengenai kebersihan pada saat menstruasi.

Mengapa orang-orang masih merasa canggung dan malu dengan menstruasi mereka dan merasa bahwa hal itu harus disembunyikan dan tidak pernah disebutkan? Situasi ini biasanya disebut period poverty atau kemiskinan dalam menstruasi. Padahal dapat dikatakan bahwa sebagian besar populasi di dunia ini mengalami menstruasi. 

Pada dasarnya, period poverty adalah isu global yang menggambarkan kurangnya akses perempuan terhadap sanitasi dan pendidikan tentang kebersihan menstruasi. Tak cuma perkara pembalut atau tampon, hal ini juga menyoroti kondisi-kondisi lainnya yang berhubungan dengan menstruasi.

Berdasarkan data World Bank, diperkirakan sebanyak 500 juta orang di dunia tidak memiliki akses terhadap produk menstruasi dan fasilitas memadai untuk manajemen kebersihan menstruasi.

"Meski menstruasi adalah bagian kehidupan yang normal dan sehat bagi sebagian besar perempuan dan anak perempuan, tapi di banyak masyarakat, pengalaman menstruasi masih dibatasi oleh tabu budaya dan normal-normal sosial yang diskriminatif," tulis World Bank.

Kemiskinan jadi salah satu hal yang paling disorot dalam period poverty. Harga jual pembalut menjadi salah satu masalahnya. Tingkat ekonomi yang rendah bisa membuat seseorang berpikir ulang untuk membeli satu kemasan pembalut. Padahal, satu hari dalam periode menstruasi saja biasanya perempuan akan membutuhkan lebih dari satu pembalut.

Sebuah laporan yang dipublikasikan dalam BMC Women's Health menemukan, orang-orang yang tak dapat mengakses produk menstruasi beralih pada barang-barang alternatif pengganti. Misalnya saja kain lap, tisu toilet, dan popok anak. Beberapa orang bahkan menggunakan pembalut dalam waktu lebih lama dari yang disarankan.

Mengutip Medical News Today, penggunaan produk alternatif membuat seseorang berisiko lebih tinggi terkena infeksi pada saluran kemih.

Menggunakan pembalut dalam waktu yang lebih lama juga bisa berbahaya. Kebiasaan ini dapat meningkatkan risiko toxic shock syndrome, infeksi yang langka namun berbahaya.

Minimnya akses terhadap kebersihan menstruasi mengakibatkan praktik yang tidak higienis. Mencapai kesehatan menstruasi yang ideal menjadi utopis.

Padahal, inisiasi Global Menstrual Collective pada tahun 2019 merinci beberapa hal yang perlu dimiliki masyarakat dalam rangka menjaga kesehatan menstruasi. Salah satu yang paling penting adalah akses terhadap produk menstruasi dan pengetahuan lain yang ada di sekitarnya.

Stigma yang berkembang di tengah masyarakat jadi salah satu alasan mengapa period poverty tak kunjung hilang. Alih-alih dianggap sebagai hal normal, menstruasi justru dipandang sebagai sesuatu yang 'kotor' dan patut disembunyikan di sejumlah budaya.

Stigma negatif ini menghalangi orang untuk membuka ruang diskusi yang berkaitan dengan menstruasi. Akibatnya, informasi seputar kesehatan menstruasi pun tak menyebar dengan merata.

Tak cuma di negara-negara Afrika, period poverty juga tampaknya terjadi di Indonesia. Sebuah laporan yang dirilis oleh UNICEF bekerja sama dengan Burnet Institute, SurveyMETER, Water Aid Australia, dan Aliansi Remaja Independen menemukan banyaknya tantangan yang dihadapi perempuan Indonesia saat menstruasi.

UNICEF bahkan menemukan bahwa 25 persen remaja perempuan di Indonesia tak pernah berdiskusi tentang menstruasi sebelum mereka mendapatkannya. Artinya, topik menstruasi masih dianggap tabu. Akibatnya, informasi seputar kesehatan menstruasi pun tak tersebar secara merata.

Data juga menemukan, sebanyak 2 dari 3 perempuan di daerah urban dan 41 persen perempuan dari wilayah pedesaan yang mengganti pembalut setiap 4-8 jam sekali. Padahal, normalnya pembalut harus diganti saat terasa penuh.

Tak hanya itu, pada tahun 2020 lalu juga pemerintah menghapus item pembalut dari komponen kebutuhan hidup layak (KHL) dan menggantinya dengan korek kuping.

Beberapa waktu lalu juga viral curhatan pengguna X menggiring masyarakat pada istilah period poverty. Menurut National Institute of Health (NIH) Amerika Serikat, period poverty merupakan dilema kesehatan masyarakat global yang telah lama diabaikan.

Ramai obrolan terkait pembalut reject yang dimulai dari unggahan seorang pengguna media sosial X (Twitter) yang memperlihatkan penjualan pembalut reject di toko daring.

Dalam tangkapan layar yang beredar, produk tersebut memiliki cacat atau kerusakan sehingga tak bisa beredar di pasaran. Unggahan itu pun mengundang respons dari banyak warganet. Tak sedikit warganet yang mempertanyakan keamanannya. Beberapa warganet juga menyoroti isu period poverty.

Stigma masyarakat juga turut andil dalam masalah period poverty. Masyarakat masih menganggap menstruasi adalah topik yang tabu dibicarakan. Hal tersebut tentu membuat mitos soal menstruasi banyak berkembang sehingga membatasi perempuan untuk mengakses hal yang sangat krusial baginya.

Kode-kode seperti “roti jepang” untuk menyebut pembalut adalah satu dari banyaknya mitos menstruasi. Belum lagi stigma bahwa perempuan yang menstruasi adalah “kotor” sehingga membuatnya harus diasingkan.

Menurut UNICEF Indonesia, 25% remaja perempuan tidak ingin membicarakan tentang menstruasi sebelum menstruasi pertama. Sedangkan 17% remaja perempuan tidak menyadari bahwa menstruasi adalah tanda pubertas.

Stigma tersebut juga berkaitan dengan pemenuhan hak mendapat informasi terkait kesehatan reproduksi. Apabila perempuan tidak diberi edukasi terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR), maka mereka akan mengalami kesulitan menghadapi menstruasi.

Masalah akibat period poverty

Apabila period poverty tidak segera ditangani, maka akan menimbulkan banyak masalah, terutama kesehatan dan sosial. Berikut masalah yang timbul akibat period poverty:

• Perempuan rentan mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD).

• Infeksi saluran kemih dan reproduksi pada perempuan.

• Pernikahan anak.

• Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

• Langgengnya stigma terhadap perempuan menstruasi.***