Petisi Tolak IKN: Ingatkan Jokowi untuk Tak Tinggalkan Beban Presiden Mendatang

Petisi Tolak IKN: Ingatkan Jokowi untuk Tak Tinggalkan Beban Presiden Mendatang
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Satu dari 45 tokoh nasional yang menggagas petisi menolak pemindahan dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra. Ia membeberkan alasannya.

Prof. Dr. Azyumardi Azra mengatakan, sebenarnya ia bersama sejumlah inisiator, termasuk Din Syamsuddin, berniat untuk mengajukan judical review terhadap UU IKN. Namun karena belum ada penomoran undang-undang, maka judical review urung dilakukan terlebih dahulu karena berpotensi kalah di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Maka selama menunggu, kita keluarkan petisi itu dulu," kata Azyumardi Azra, Senin (7/2/2022).

Para inisiator petisi yang digalang dalam situs change.org itu menilai, pembangunan dan pemindahan ibu kota negara saat ini bukan waktu yang tepat. Salah satu alasannya adalah karena persoalan ekonomi.

"Proyek IKN ini kalau diteruskan, akan menjadi proyek mercusuar karena anggarannya sekarang dihitung mencapai Rp 466 triliun, tapi dalam kalkulasi di DPR itu bisa sampai Rp 1.500-an T. Berarti setengah tahun APBN kita. Jadi kalau dana APBN satu tahun dipakai ke sana kita berhenti menikmati pendidikan, fasilitas umum, kesehatan," tuturnya.

Prof Azyumardi Azra juga khawatir proyek IKN Nusantara akan mangkrak jika terus dipaksakan. Sebab, masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya tinggal sebentar. Ia mempertanyakan apakah Pemerintahanan Jokowi-Ma'ruf Amin bisa membangun, setidaknya Istana Negara, dalam waktu tidak sampai 3 tahun.

"Dalam 2,5 tahun itu jangankan membikin sebuah kota. Kita bikin rumah yang bagus, permanen itu, nggak bisa selesai dalam waktu 2 tahun sampai bisa ditempati dengan nyaman," kata Prof Azyumardi Azra.

"Itu yang kita serukan dalam petisi, bukan waktunya. Apalagi sekarang Covid-19 Omicron itu luar biasa peningkatannya," tambahnya.

Prof Azyumardi Azra pun khawatir, presiden setelah Jokowi nanti tidak bersedia meneruskan proyek IKN, mengingat beban anggarannya yang cukup besar. Agar dana tidak menjadi sia-sia, ia mengimbau kepada Presiden Jokowi agar menghentikan proyek pembangunan IKN di Kalimantan Timur.

"Kita meminta, hati kecilnya Pak Jokowi supaya mempertimbangkan kembali dengan matang. Supaya proyek IKN ini tidak menjadi beban bagi kepemimpinan nasional yang akan datang. Dan kepemimpinan nasional yang akan datang belum tentu juga meneruskan ya," sebutnya.

Petisi yang diprakarsai oleh Narasi Institute itu memang menyebut petisi ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, DPR RI, DPD RI, dan MK. Namun menurut Prof Azyumardi Azra, petisi ditujukan secara khusus untuk Presiden Jokowi.

"Karena praktis yang bisa melaksanakan dan membatalkan ya Pak Jokowi sendiri. Tidak ada kekuatan lain yang bisa membatalkan. Karena apa yang diminta Pak Jokowi pasti jadi. Misalnya mengubah UU KPK, dia kirim Supres, ya jadilah itu. Mau bikin UU Cipta Kerja, tinggal dibawa ke sana (DPR) bawa menteri, selesai," ucap mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah tersebut.

Prof Azyumardi juga mengkritik DPR, yang turut terlibat dalam proyek IKN melalui pengesahan UU IKN. Ia mempertanyakan DPR yang mengebut cepat pembahasan UU IKN.

"Kok DPR kita sekarang ini jadi cap stempel saja. Dulu awal reformasi DPR memprotes Pak Harto katanya executive heavy, sangat berlebihan, kuat sekali. Sekarang apa tidak executive heavy juga? Karena DPR kita sama sekali tidak kelihatan perannya, hanya jadi tukang stempel saja. Seperti UU IKN itu, disiapkan hanya 43 hari. Sudah termasuk dari awalnya, di DPR malah hanya 16 jam," paparnya.

Oleh karena itu, para inisiator melabuhkan harapan kepada Presiden Jokowi untuk kembali mempertimbangkan proyek pembangunan IKN yang rencananya mulai digarap pertengahan tahun ini.

"Jokowi hanya bisa dikalahkan oleh dirinya sendiri, nggak ada yang bisa menghalangi. Karena antara kekuasaan eksekutif dan legislatif sudah menjadi oligarki yang tidak bisa dilawan siapapun. Paling banter ya mungkin PKS. Tapi kekuatan PKS kan tidak signifikan," ujar Prof Azyumardi Azra.

Selain soal pertimbangan anggaran, ada beberapa alasan lain yang membuat para inisiator menggalang petisi tolak IKN. Prof Azyumardi Azra mengatakan, beberapa alasan tersebut dari aspek pemilihan lokasi, lingkungan, lalu juga terkait isu bisnis.

"Kajian geologinya, lingkungannya, hutannya, dari sudut keamanannya. Apakah ini bisa kejangkau dengan rudal, dan sebagainya. Sekarang, lingkungannya disebut nggak ideal sebagai calon ibu kota negara karena banyak lobang-lobang bekas galian yang tidak lagi ditimbun, lalu juga banjir," terang dia.

Prof Azyumardi Azra tidak menampik bahwa persoalan itu bisa diatasi, namun dia juga melihat adanya berbagai masalah lain yang harus lebih dulu dijelaskan pemerintah secara mendetail terkait pembangunan ibu kota negara baru.

"Kita nggak mendengar penjelasan pemerintah mengenai ketika beredar berbagai informasi penguasaan lahan di sana dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang dan hutan yang besar," kata Prof Azyumardi Azra.

Tak hanya itu, peraih gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris ini juga mempertanyakan mengenai kajian terhadap masyarakat di sekitar lokasi IKN Nusantara. Meski saat ini warga Kaltim merasa senang daerahnya dipilih sebagai ibu kota negara baru, Prof Azyumardi Azra menilai pasti ke depan akan ada berbagai dampaknya.

"Tidak ada kajian studi mengenai bagaimana lingkungan masyarakat di sana. Potensi mereka terserabut dari akarnya. karena ada ibu kota baru, mereka pasti tergusur. Saya bayangkan seperti di BSD itu, ada permukiman yang terkepung oleh pagar-pagar BSD, atau juga seperti PIK. Sebuah lingkungan yang terasing dari kota yang baru diciptakan. Ini bagaimana mengatasinya?" tanya dia.

"Termasuk dengan lingkungan adat di situ. Pasti menimbulkan dampak bagi kehidupan mereka. Kehidupan sosial, budaya, agama, akan terdampak semua. Bagaimana pemerintah menangani itu kan juga tidak jelas. Harusnya melibatkan antropolog, sosiolog, mengkaji dampak-dampak seperti itu," imbuh akademisi yang pernah menjadi profesor tamu di sejumlah negara tersebut.

Oleh karenanya, para inisiator petisi tolak IKN menilai pembangunan dan pemindahan ibu kota negara yang dilakukan Pemerintah terlalu tergesa-gesa.

Prof Azyumardi Azra mengatakan, Pemerintah terburu-buru mengerjakan proyek besar yang dinilainya belum siap.

"Seolah mengejar target tahun 2024. Upacara 17 Agustus sudah harus di sana. Ya mungkin bisa saja, tapi mungkin di bangunan sementara atau lapangan sementara. Kalau untuk membayangkan sudah ada Istana yang megah seperti yang diedarkan di video-video itu, terus terang saja saya menganggap itu sulit tercipta," urai Prof Azyumardi Azra.

"Maka presiden harus mempertimbangkan matang-matang. Ini dalam waktu 2 tahunan bisa selesai nggak? Kalau nggak bisa selesai, nggak ada jaminan presiden yang akan datang melanjutkan," sambung dia.

Inisiator petisi
Selain Prof Azyumardi Azra, petisi berjudul "Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota Negara" turut digagas oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, dan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia sekaligus suami Meutia Hatta, Sri Edi Swasono.

Kemudian ada juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin hingga ekonom senior, dan Faisal Basri.

Sementara itu dari kalangan akademisi lainnya ada juga Prof. Dr. Nurhayati Djamas, Prof. Dr. Daniel Mohammad Rasyied, Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Prof. Dr. Widi Agus Pratikto, Prof. Dr. Rochmat Wahab, Prof Dr. Carunia Mulya Firdausy, Prof Dr. Mas Roro Lilik Ekowanti, Reza Indragiri Amriel, dan lainnya.

Hingga pukul berita ini diturunkan, petisi di change.org sudah ditandatangani oleh 12.110 orang.

CEO dan Co-Founder Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat mengatakan sebenarnya masih banyak tokoh besar lain yang menjadi inisiator dari petisi tersebut.

"Nama lain yang bisa kami share misalnya Prof Nazaruddin Sjamsuddin dan Prof Prijono Tjiptoherijanto. Kami sedang finalisasi. Setelah lengkap akan kami rilis ke publik bila target petisi sudah mencapai 25 ribu," ucap Achmad Nur Hidayat, Senin (7/2/2022).***