Kesemrawutan Reklame di Bandung Akibat Pelaku dan Pihak Terkait tak Patuhi Aturan

Kesemrawutan Reklame di Bandung Akibat Pelaku dan Pihak Terkait tak Patuhi Aturan

WJtoday, Bandung - Mantan Anggota DPRD Kota Bandung 2004-2014 Aat Safaat Hodijat, blak-blakan soal kesemrawutan reklame di Kota Bandung. 

Bahkan, Aat menyarankan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung meminta bantuan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyempurnaan regulasi dan tindakan penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran penyelenggaraan reklame akhir-akhir ini.

Terkait itu, Advokat Sachrial menilai harapan yang disampaikan oleh Aat merupakan sebuah langkah maju dalam membereskan kesemrawutan visual di Kota Bandung.

“Kesemrawutan ini tentu karena para pelaku dan semua yang terkait, tidak mematuhi aturan yang telah berlaku baik pada Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Wali Kota (Perwal) itu sendiri,” ujarnya, lewat keterangan tertulis, Jumat (25/2/2022).

Diutarakannya, saran Aat Safaat yang meminta KPK turun tangan, adalah sebuah ijtihad konstitusional dalam penegakan hukum.

“Membiarkan keberadaan iklan rokok yang melebihi ukuran, sama artinya pemerintah kota meningkatkan jumlah para perokok pemula agar menjadi beban BPJS Kesehatan. Itu tentu bertentangan dengan kebijakan di tingkat pusat yang justru tengah berupaya untuk mengurangi beban tersebut,” ucap dia.

“Menempatkan reklame pada zonasi yang salah pun adalah bagian dari pelanggaran. Setiap pelangggaran tentu mengakibatkan keuntungan bagi pelanggarnya dan kerugian bagi pihak lain,” tambahnya.  

Sachrial mengatakan sepakat jika dalam dunia reklame, invesible hand punya pengaruh besar dalam kesemrawutan yang terjadi.

Menurut dia, persoalan reklame itu jangan dianggap sepele. Meski pemerintah menaikkan biaya cukai agar kosumsi rokok tidak menjadi beban Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), persoalan kesehatan akibat merokok bisa mencapai Rp 17,9-27 triliun per tahun.

“Dari total biaya tersebut, Rp 10,5-15,6 triliun biaya perawatan yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan,” jelas Sachrial, seraya menegaskan rtinya sekitar 20-30 persen dari subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN sebesar Rp 48,8 triliun.

Baca juga: Bandung Lautan Reklame, KPK Diminta Turun Tangan

“Tentu ini sangat ironis bila pemerintah menggenjot agar beban biaya kosumsi merokok berkurang dengan kebijakan naik cukai tetapi iklan rokok yang sudah diatur malah menabrak aturan maka percuma saja,” ucapnya.

Dijelaskan Sachrial, reklame rokok bila tidak taat aturan, sesungguhnya masuk pada kategori korupsi.

Diungkap dia, Republik Indonesia adalah sebuah kesatuan yang sangat integral. RPJMN 2022-2024 adalah sebuah acuan agar negara ini sesuai dengan koridor hukum.

Menurutnya, berdasarkan hasil survei Balaitrankes 2017, biaya kehilangan tahun produktif yang timbul karena penyakit, disabeling, kematian dini akibat merokok, diperkirakan mencapai Rp 374 triliun.

Selain itu, tren jumlah perokok anak terus meningkat naik, dari 7,2 persen di 2013 menjadi 9,1 persen di 2018.

“Maka kenaikan cukai saat ini, salah satunya dimaksudkan untuk menekan angka perokok pada anak-anak,” tegas Sachrial.

Menurut dia, kebijakan penyelenggaraan reklame di tingkat kota pun harus sesuai dengan RPJMN.

“Pada RPJMN 2022-2024 pemerintah menargetkan prevelensi angka anak turun menjadi 8,7 persen di 2024. Bila reklame rokok tak sesuai aturan, malah ukurannya ditambah melebihi ketentuan perwal, maka sesungguhnya boleh dikatakan bahwa pemkot melakukan ‘perlawanan’ atau ‘kudeta’ atas RPJMN,” tandasnya.  ***