Kian Memanas, Sebenarnya Apa Alasan Invasi Rusia di Ukraina?

Kian Memanas, Sebenarnya Apa Alasan Invasi Rusia di Ukraina?
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Invasi Rusia terhadap Ukraina benar terjadi. Presiden Rusia Vladimir Putin pada Kamis (24/2) dini hari telah mengizinkan operasi militer khusus di wilayah Donbass Ukraina. Putin bahkan meminta militer Ukraina agar mereka menjatuhkan senjata dan pulang ke rumah.

Melalui pidato khusus yang disiarkan stasiun TV pemerintah Rusia, Putin mengatakan Rusia tidak mempunyai pilihan selain membentengi diri terhadap apa yang disebutnya sebagai ancaman dari Ukraina modern.

Amerika Serikat pernah mewanti-wanti kemungkinan Rusia menginvasi Ukraina, meski Putin menyebut Rusia tak ingin perang dan hanya ingin negoisasi.

Dikutip dari Al Jazeera, Presiden Rusia Vladimir Putin mengklaim kalau Rusia dan Ukraina adalah satu bagian dari peradaban Rusia, di mana klaim itu sudah dinyatakan berulang kali. Namun, Ukraina menolak klaim dan pernyataan Putin itu. 

Lalu Apa alasan Rusia dan Ukraina "Perang"?

Konflik di perbatasan Ukraina belakangan ini tengah memanas usai Rusia mengerahkan ratusan ribu personel militer ke wilayah perbatasan. Moskow mengerahkan tentaranya lantaran takut Kiev akan bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Bergabungnya Ukraina dengan NATO dinilai Rusia bisa mengancam eksistensi mereka. Pasalnya Ukraina berbatasan langsung dengan Rusia.

Sementara Amerika Serikat menuding penempatan pasukan Rusia di perbatasan ini sebagai bentuk rencana invasi. Namun, Moskow membantah. Seiring eskalasi yang terus meningkat sejumlah negara menggelar negosiasi tapi tak menghasilkan apa pun.

Setelah Uni Soviet runtuh, NATO memperluas pengaruhnya ke wilayah Eropa timur.

Mereka kemudian berhasil merekrut negara-negara Eropa yang pernah berada di lingkungan komunis. Seperti misalnya, Lituania, Latvia dan Estonia kemudian ada Polandia dan Rumania.

Keberhasilan itu semakin membuat NATO percaya diri untuk terus memperluas pergerakan mendekati Rusia. Diketahui blok ini diciptakan untuk melawan Uni Soviet.

Hingga pada 2008, mereka berencana merekrut Ukraina, meskipun beberapa pihak menilai itu prospek yang terlalu jauh.

Putin menyebut ekspansi NATO sebagai ancaman. Selain itu prospek Ukraina yang akan bergabung dengan blok tersebut juga dinilai mengancam eksistensi negaranya.

Putin terus menegaskan Ukraina dan Belarus bagian dari Rusia secara budaya dan sejarah. Dia bahkan memegang kendali besar atas Belarus dan terus melakukan pembicaraan soal reunifikasi yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

Namun konflik dengan Ukraina meletus pada awal 2014 yang memicu hubungan Timur-Barat memburuk. Ketika itu, protes massal terjadi di Ukraina, dan presiden yang bersekutu dengan Putin disingkirkan.

Rusia kemudian dengan cepat menginvasi dan mencaplok Crimea, wilayah perbatasan Ukraina. Moskow juga mendukung kelompok separatis yang ada di Donbas.

Pada 2015, kedua negara sepakat gencatan senjata di Donbas, Ukraina. Namun, kedua belah pihak saling menuduh melanggar perjanjian dan tak sepenuhnya melaksanakan kesepakatan itu.

Selama memimpin Rusia, Putin disebut sangat menjaga dan ingin menarik Ukraina ke orbit Rusia.

Namun, muncul spekulasi sejauh mana Rusia siap melakukannya meski biaya yang ditanggung tinggi, dan mendapati Ukraina yang lunak tapi tetap terpisah dari Moskow.

Rusia menuntut agar Ukraina tak bergabung dengan NATO, meminta blok ini menarik pasukan di negara-negara Eropa Timur, dan meminta gencatan senjata 2015 di Ukraina bisa dilaksanakan.

Barat tak bisa memenuhi tuntutan pertama, mereka menawarkan hal lain bahkan mengancam sanksi. Khusus soal sanksi, jika Rusia menduduki Ukraina.

Para pengamat di Rusia juga menilai Moskow tak akan melancarkan perang. Mereka hanya ingin menghukum Ukraina dan menuntut agar keinginannya dipenuhi.

Rusia Kobarkan Perang, NATO Aktifkan Siaga Pertahanan

Kanselir Jerman Olaf Scholz mengutuk serangan Rusia di Ukraina, menyebutnya sebagai "hari yang gelap bagi Eropa". 

Olaf Scholz menuduh Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. 

"Putin membawa penderitaan dan kehancuran ke negara tetangganya", kata Olaf Scholz dan menyatakan Jerman akan memberlakukan sanksi keras terhadap Rusia.

"Tujuan dari sanksi ini adalah untuk memperjelas kepada kepemimpinan Rusia: Anda akan membayar harga yang pahit untuk agresi ini. Putin telah membuat kesalahan serius dengan perangnya … adalah kewajiban NATO untuk memberikan bantuan."

Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock meminta semua warga Jerman yang ada di Ukraina untuk meninggalkan negara itu, atau jika hal itu tidak mungkin, mencari tempat perlindungan. 

Kementerian luar negeri Jerman mengeluarkan tweet yang berbunyi: "Pertempuran & serangan rudal terjadi di #Ukraina. Warga negara Jerman didesak meninggalkan negara itu. Jika Anda tidak dapat meninggalkan negara itu dengan rute yang aman, tetaplah di tempat yang terlindung untuk sementara waktu."

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan bahwa aliansi militer Barat akan mengerahkan kemampuan dan menyiagakan pasukan. Lebih 100 pesawat tempur NATO saat ini dalam siaga tinggi, katanya.

Para pemimpin NATO juga akan mengadakan pertemuan puncak virtual pada hari Jumat (25/2). NATO mengaktifkan siaga pertahanan, kondisi yang memberikan komandan militer mandat untuk menyiagakakan dan mengerahkan, termasuk pasukan gerak cepat.

"Kita harus menanggapi dengan tekad baru dan persatuan yang lebih kuat lagi," kata Jens Stoltenberg dalam konferensi pers setelah memimpin pertemuan darurat para duta besar NATO dan menekankan: "Apa yang kami lakukan adalah defensif."

"Ini adalah invasi yang disengaja, berdarah dingin, dan telah lama direncanakan," tegasnya.

Lithuania Berlakukan Situasi Darurat

Anggota NATO, Lituania, yang berbatasan dengan Belarus, sekutu utama Rusia, mengumumkan keadaan darurat di negaranya yang berlaku mulai Kamis dini hari (24/4).

Dekrit yang ditandatangani oleh Presiden Lituania Gitanas Nauseda antara lain memberi wewenang kepada aparat keamanan untuk memeriksa kendaraan, penumpang, serta barang bawaan di daerah perbatasan. Lithuania juga berbatasan dengan sesama anggota NATO dan Uni Eropa Polandia dan Latvia.

Turki meminta Rusia untuk menghentikan apa yang digambarkannya sebagai tindakan tidak adil dan melanggar hukum" di Ukraina. Sebuah pernyataan Kementerian Luar Negeri Turki hari Kamis mengatakan serangan Rusia "tidak dapat diterima" dan bahwa Turki "menolaknya".

"Serangan ini, selain menghancurkan Perjanjian Minsk, merupakan pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan merupakan ancaman serius bagi keamanan kawasan kami dan dunia," kata pernyataan itu.***