Otoritas Aceh Diminta Terima Pengungsi Rohingya

Otoritas Aceh Diminta Terima Pengungsi Rohingya
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy meminta otoritas di Aceh menerima kedatangan pengungsi Rohingnya ke daerah itu melalui koordinasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk kesediaan warga setempat.

"Kita sangat terbuka memang juga harus dilayani dengan baik tetapi harus memperhatikan kesediaan dari warga untuk menerima yang bersangkutan," katanya, Senin (20/11/2023).

Dia mengatakan otoritas Aceh harus bisa memperhatikan perbedaan budaya agar warga dan para pengungsi tidak ada permasalahan di kemudian hari.

"Tentu saja bukan sekadar orang, tapi juga budayanya perilakunya kemudian akomodasinya, kemudian ini harus dilihat dari sisi itu. Saya mohon pemerintah daerah, terutama Provinsi Aceh dan kabupaten, supaya bisa memperhatikan ini," ujarnya.

Dia menilai hingga saat ini belum terdapat masalah yang serius terkait dengan penolakan warga Aceh terhadap kedatangan para pengungsi Rohingnya. Hingga saat ini menurutnya belum ada yang serius mengenai penolakan.

"Saya belum melihat ada yang serius, baru letupan-letupan sifatnya terbatas," jelasnya.

Sebelumnya, kedatangan gelombang ketiga imigran Rohingya selama November 2023 ke pesisir Aceh mendapat penolakan masyarakat, meski dua kapal sebelumnya sudah diterima Pemerintah Kabupaten Pidie.

Selama beberapa waktu terakhir, Aceh telah didatangi ratusan pengungsi Rohingya. Pertama pada Selasa (14/11) di pesisir pantai Gampong Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie dengan jumlah 200 orang, enam di antaranya melarikan diri.

Pada Rabu (15/11/2023) sebanyak 147 imigran Rohingya mendarat di kawasan Pantai Beurandeh, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie, dan ditampung sementara di tempat itu.

Pada Kamis (16/11/2023) Aceh kedatangan kapal imigran Rohingya di kawasan Pesisir Jangka, Kabupaten Bireuen. Namun, mereka mendapat penolakan warga setempat.

Oleh karena mendapatkan penolakan masyarakat Bireuen, kapal yang mengangkut 249 imigran Rohingya itu mendarat di wilayah Kabupaten Aceh Utara. Tetapi kemudian, setelah diberikan makan dan pakaian, mereka didorong kembali ke lautan.

Pada Minggu (19/11/2023) sebanyak 220 etnis Rohingnya berlabuh di wilayah Kabupaten Pidie. Mereka langsung masuk perkampungan dan singgah di mushala Gampong Kulee, Kecamatan Batee.

Mengapa Rohingya Diusir dari Myanmar dan Kini Kedatangannya Ditolak di Aceh

Kedatangan lebih dari 500 imigran Rohingya ke Aceh, kembali mendapat penolakan dari warga. 

Ratusan imigran asal Myanmar ini datang secara bergelombang. Terbaru 249 imigran mendarat di Lapang Barat Bireuen, Minggu (19/11/2023).

249 imigran ini telah dua kali pindah lokasi lantaran warga kembali mendorong kapal para pengungsi ke laut. 

Sebelumnya, 220 pengungsi Rohingya tiba di Gampong Kulee, Pidie. Tak hanya itu akhir pekan lalu, sebanyak 35 etnis Rohingya juga dilaporkan mendarat dari sebuah kapal di Kecamatan Madat, Aceh Timur.

Penyebab Pengungsi Rohingya Ditolak di Aceh

Gelombang imigran Rohingya terdampar di Aceh bukan baru kali ini terjadi. Mereka mendarat di Aceh sebelum melanjutkan perjalanan ke negara ketiga di Australia.

Australia sendiri sejatinya telah menghentikan permintaan suaka. Alasannya negara mereka kekurangan fasilitas biometrik dan pemeriksaan latar belakang pengungsi.

Sementara warga Aceh menolak para pengungsi Rohingya karena merepotkan masyarakat setempat karena tidak adanya tempat penampungan.

Selain itu warga mendapat kesan buruk dari pengungsi Rohingya sebelumnya, seperti tidak menjaga kebersihan dan tidak mengindahkan syariat Islam serta adat masyarakat Aceh.

Warga sebenarnya pernah memberikan bantuan berupa makanan, mineral dan mi instan kepada pengungsi Rohingya. Namun mereka malah membuang bantuan ke laut.

Warga akhirnya mengusir mereka dan diminta melanjutkan perjalanan.

Indonesia Dikecam karena Tolak Pengungsi Rohingya

Pada Mei 2015, Indonesia, Malaysia dan Thailand sempat dikecam dunia internasional lantaran menolak menampung pengungsi etnis Rohingya dan Bangladesh yang berlayar di kawasan Selat Malaka. 

Mereka yang terombang-ambing dibiarkan begitu saja lantaran Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menampungnya. 

Ketiga negara mengadakan rapat di Malaysia. Hasilnya masing-masing negara akan menyediakan penampungan sementara untuk para pengungsi etnis Rohingya.

Indonesia sebenarnya tidak menandatangani Konvensi 1951 yang membahas tentang pengungsi. 

Bantuan yang diberikan sejak 2015 hanya didasarkan pada kemanusiaan belaka. 

Penyebab Konflik Rohingya

Muslim Rohingya merupakan kelompok minoritas di Myanmar yang tinggal di negara bagian Rakhine. 

Sejak 1982, mereka tidak memiliki kewarganegaraan sehingga tidak mendapat perlindungan dari suatu negara.

Tindakan represif dari pemerintah Myanmar kembali memunculkan gelombang pengungsi etnis Rohingya ke beberapa negara tetangga, termasuk ke Indonesia untuk mencari suaka.

Saat ini, Rohingya menjadi populasi tanpa kewarganegaan terbesar di dunia. 

Lantas, mengapa etnis Rohingya begitu dibenci di Myanmar?

Muslim Rohingya merupakan etnis minoritas di Myanmar. Mereka memiliki bahasa dan budaya sendiri. Berbeda dari orang Myanmar yang hampir 90 persen beragama Buddha.

Secara fisik dan budaya, etnis Rohingya lebih mirip orang-orang Bangladesh dan India daripada Suku Bamar, etnis terbesar di Myanmar.

Selama berabad-abad, Muslim Rohingya dan warga Buddha Rakhine hidup berdampingan secara damai.

Konflik antara etnis Rohingya dengan penduduk asli Myanmar mulai terjadi pada akhir abad ke-18, ketika Inggris menjajah Myanmar.

Saat itu, orang-orang India yang juga dijajah Inggris berdatangan ke Myanmar untuk bekerja. 

Sehingga terkesan orang-orang India ikut "merampas" hak-hak orang Myanmar. 

Selain itu, pada masa Perang Dunia II (1939-1945), banyak Muslim Rohingya yang direkrut Inggris sebagai tentara.

Mereka berperang dengan umat Buddha Myanmar yang bersekutu dengan Jepang. 

Ketika Inggris berhasil diusir Jepang pada 1942, etnis Rohingya di Rakhine menjadi sasaran kemarahan warga Myanmar. 

Sejak saat itu, etnis Rohingya dipandang sebagai imigran ilegal dan mendapat perlakukan tidak adil. 

Hak-hak mereka dilucuti, dikucilkan secara sosial, dan menjadi populasi tanpa kewarganegaraan. 

Junta militer secara keji melakukan pemerkosaan, penganiayaan, pembakaran desa, dan pembunuhan, termasuk terhadap anak-anak etnis Rohingya.

Selama beberapa tahun terakhir, ratusan ribu etnis Rohingya telah melarikan diri ke beberapa negara tetangga Myanmar seperti Bangladesh dan Indonesia. 

Saat ini, diperkirakan masih ada setengah juta orang Rohingya di Rakhine, bagian barat Myanmar. 

Perbedaan ciri fisik, budaya, agama, dan peristiwa di masa lalu itulah yang membuat etnis Rohingya dibenci di Myanmar.***