Soal Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu, BEM SI: Yang Mulia Majelis Hakim Dungu?

Soal Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu, BEM SI: Yang Mulia Majelis Hakim Dungu?

WJtoday, Jakarta - Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Rakyat Bangkit menyayangkan sekali sikap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Tengku Oyong.

Betapa tidak, ada amar putusan untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024 selama 2 tahun 4 bulan 7 hari sebagai bentuk vonis hasil penanganan perkara nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst atas sengketa perdata antara Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Putusan PN Jakpus seakan tidak menganggap kesepakatan yang sudah dibuat,” kata koordinator media BEM SI, Ragner Angga M.H.J dalam keterangannya, dikutip Selasa (7/3/2023).

Kesepakatan itu terjalin antara pemerintah pusat yang diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), DPR RI melalui Komisi II, dan para penyelenggara Pemilu baik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tentang jadwal pelaksanaan Pemilu 2024, baik Pilpres maupun Pileg dan Pilkada.

“Sebelumnya kan sudah disepakati oleh DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu bahwa pemilu akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024,” ujarnya.

Selain itu, ia juga menilai apa yang dilakukan oleh hakim PN Jakarta Pusat seperti telah melompat pagar, dimana mereka menjalankan sesuatu di luar kapasitasnya.

“PN Jakpus telah keluar dari koridornya sebagai pengadilan yang tidak seharusnya mengurus konstitusi. Pemilu adalah hak konstitusi rakyat, yang tidak dapat diganggu gugat dengan putusan setingkat PN,” ucapnya.

Bahkan Angga juga mempertanyakan apakah majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut dungu sehingga menangani perkara yang bukan kewenangannya.

“Yang Mulia majelis hakim dungu?,” tandasnya.

Angga menjelaskan, babarapa poin mengapa BEM SI menduga bahwa majelis hakim PN Jakarta Pusat dianggap dungu.

Pertama, BEM SI menyebut bahwa majelis hakim PN Jakarta Pusat telah melanggar Pasal 22E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana di dalam Pasal tersebut berbunyi ; Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Kedua, BEM SI menyebut bahwa PN Jakarta Pusat tidak berwenang di dalam menangani perkara hukum administrasi negara yang hanya bisa diselesaikan di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sementara, perkara yang boleh ditangani oleh Pengadilan Negeri adalah perkara pidana dan perdata tingkat 1 sesuai dengan Pasal 50 UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Pengadilan Umum. Berbunyi ; Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

Ketiga, penundaan atau perubahan jadwal pelaksaan sebuah pemilu tidak bisa dilakukan secara nasional, akan tetapi dilakukan terhadap wilayah-wilayah tertentu yang mengalami kedaruratan atau kebencanaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 431 juncto Pasal 432 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, di Bab XIV tentang Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan.

Pasal 431 berbunyi ;
(1) Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan.

(2) Pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari tahap Penyelenggaraan Pemilu yang terhenti.

Pasal 432 berbunyi ;
(1) Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan.

(2) Pelaksanaan Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu.

Keempat, BEM SI menilai bahwa vonis PN Jakarta Pusat tersebut bisa memicu kekacauan nasional, setidaknya persoalan administrasi negara jika tetap dijalankan, yakni menunda tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari.

“Jika Pemilu ditunda pada tahun 2025, apakah Presiden dan lembaga eksekutif lainnya serta lembaga legislatif akan digantikan oleh Plt atau diperbolehkan melanggar konstitusi,” tandasnya lagi.

Oleh sebab itu, Angga mengatakan bahwa pihaknya memiliki sikap agar bisa dieksekusi oleh para stakeholders yang ada. Salah satunya adalah menyatakan penolakan terhadap upaya apa pun dan dari pihak mana pun yang melakukan manuver untuk menunda pemilu 2024.

“Menolak segala bentuk upaya yang dilakukan oleh pihak manapun yang ingin melakukan penundaan pemilu secara sistematis,” ujar Angga.

Lalu, BEM SI juga mendorong agar KPU tetap menjalankan semua tahapan Pemilu 2024 sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.

Kemudian, BEM SI juga mendesak agar pemerintah sebagai pihak eksekutif menyatakan sikap jelasnya tentang vonis PN Jakarta Pusat, dan memastikan bahwa semua tahapan Pemilu 2024 berjalan lancar sesuai jadwal yang ada.

Dan terakhir, BEM SI mendesak agar Komisi Yudisial (KY) memanggil dan memeriksa semua hakim PN Jakarta Pusat yang terlibat. Mereka antara lain ; Tengku Oyong, H Bakri dan Dominggus Silaban.

“Meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa seluruh hakim yang terlibat dalam putusan tersebut,” pungkasnya.***