Upaya Pemerintah RI Pulihkan Hak Korban HAM Masa Lalu

Upaya Pemerintah RI Pulihkan Hak Korban HAM Masa Lalu

WJtoday, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan kunjungan kerjanya ke Belanda.

Bukan tanpa alasan, Mahfud MD mengatakan alasan kedatangannya untuk memulihkan hak korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.

Kunjungan tersebut, kata Mahfud, sebagai upaya melaksanakan kebijakan pemerintah untuk menembus kebuntuan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui penyelesaian nonyudisial.

“Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak para korban, ini yang kita lakukan sekarang ketemu di Amsterdam ini,” ujar Mahfud MD, dikutip Selasa (29/8/2023).

“Sekarang kami ketemu di Amsterdam ini untuk melakukan pemulihan hak korban yang masih ada, secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,” tambahnya.

Mahfud juga menuturkan, bahwa landasan kebijakan tersebut, yakni Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM (PPHAM).

Ini merupakan sebagai komitmen Presiden RI Joko Widodo dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu yang menekankan kepada pemulihan hak korban.

“Lalu tindak lanjut itu ada Inpres Nomor 2 Tahun 2023. Jadi di situ Presiden menginstruksikan kepada 19 pejabat menteri, panglima, dan kapolri,” jelasnya.

Namun, dia menegaskan bahwa upaya pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu itu tidak menegasikan upaya penyelesaian melalui jalur yudisial.

“Jadi kita ambil tindakan yang lebih cepat tetapi tidak menghambat, tidak menutup masalah-masalah yang secara hukum sudah diatur yang yudisial dan penyelesaian melalui KKR, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” tuturnya.

Dalam pertemuan tersebut, Mahfud beserta jajaran turut didampingi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly beserta jajaran, dan Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Mayerfas.

Pada kesempatan tersebut hadir 59 eksil dari Belanda, enam dari Jerman, serta sejumlah eksil dari negara Eropa lainnya yang hadir secara virtual.

Pemerintah Bertemu Eksil di Sejumlah Negara Eropa


Mahfud MD dan Yasonna H Laoly berdialog dengan warga eksil yang tersebar di sejumlah negara Eropa.

Dalam pertemuan tersebut, Mahfud menyampaikan pemerintah sedang berupaya untuk memulihkan korban pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk warga eksil yang berada di luar negeri. Ia menegaskan jalur nonyudisial ini tidak menghapus pidana dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Inpres ini memberi tekanan penyelesaian kepada korban, bukan kepada pelaku. Kalau pelaku pengadilan yang menyelesaikan, ini kebijakan pemerintah saja," ujar Mahfud di Belanda, Minggu (27/8) siang.

Inpres yang dimaksud adalah Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Menurut Mahfud, langkah ini diambil, karena penyelesaian secara yudisial masih mengalami kesulitan setelah reformasi.

Setidaknya ada 4 kasus yang telah diproses secara yudisial. Keempatnya adalah peristiwa setelah jajak pendapat Timor Timur, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Abepura, dan peristiwa Paniai. Tiga kasus (Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura) seluruhnya dijatuhi putusan bebas dan telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan kasus Paniai telah divonis bebas di tingkat pertama dan sedang dalam upaya hukum kasasi.

"Kita sudah mengajukan 35 orang terdakwa bebas semua. Ada yang pernah dihukum Abilio Soares dan Eurico Guterres. Tapi dibebaskan Mahkamah Agung melalui Pengadilan PK. Jadi satu pun dari 35 orang tidak ada yang dihukum. Karena pembuktian tidak memungkinkan," tambah Mahfud.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menambahkan pemerintah akan memberikan kemudahan bagi warga eksil yang ingin datang ke Indonesia. Menurutnya, pemerintah akan memberikan fasilitas keimigrasian atau diberikan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak nol rupiah. Para eksil bisa tinggal sekitar lima tahun atau bisa ditingkatkan menjadi izin tinggal sementara.

"Saya sudah menyurati menteri keuangan dan ini sudah bisa kita lakukan," jelas Yasonna.

Yasonna mendapatkan informasi banyak warga eksil yang ingin memiliki kewarganegaraan ganda Indonesia. Namun, kata dia, hal tersebut belum dapat dilakukan karena masih menjadi perdebatan di DPR.

Aktivis Eksil Minta Pemerintah Buat Terobosan Soal Dwi-Kewarganegaraan

Sementara itu Sri Tunruang, aktivis International People’s Tribunal 65 yang tinggal di Jerman, menyampaikan agar pemerintah membuat terobosan tentang kewarganegaraan ganda bagi warga eksil. Menurutnya, ada sekitar 200 warga eksil di Eropa yang berminat memiliki kewarganegaraan ganda Indonesia.

"Memang undang-undangnya belum ada, tapi Menko Polhukam Mahfud MD terkenal tukang terobos-terobos. Kalau sudah ada Undang-Undang memang enak, justru karena belum ada, kita terobos," ujar Sri Tunruang.

Sri juga menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab, penyesalan yang disampaikan Jokowi tidak disertai dengan pengungkapan kebenaran tentang peristiwa 1965. Padahal, kata dia, peristiwa tersebut telah membuat para eksil mendapat stigma negatif dari berbagai pihak.

Ia juga meminta pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial dengan serius. Sebab, menurutnya, kasus ini terus bolak balik dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Sungkono, eksil tamatan Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa, Rusia, mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo yang telah mengakui dan menyesalkan berbagai pelanggaran HAM berat. Namun, ia juga mempertanyakan sikap presiden yang tidak meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM tersebut. Menurutnya, tanggung jawab negara tersebut harus dipikul oleh kepala negara yaitu presiden.

"Padahal budaya orang Indonesia itu, meminta maaf sudah hal biasa. Jalan cepat menubruk orang saja meminta maaf, ini kejahatan besar di suatu negara tapi tidak meminta maaf," ujar Sungkono.

Sungkono juga menilai pemulihan hak korban itu sudah selayaknya menjadi tugas pemerintah. Namun, ia tetap menuntut penyelesaian pelanggaran HAM berat ini dapat dilanjutkan secara yudisial. 

Sebelumnya, Senin 21 Agustus 2023, Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan bahwa dirinya akan melakukan kunjungan kerja (kunker) ke beberapa negara Eropa dan Korea Selatan.

"Saya besok akan ke Turki untuk kerja sama keamanan. Sesudah itu ke Amsterdam, Praha, dan Ceko," ujar Mahfud di Jakarta, Senin 21 Agustus 2023.

Adapun kunjungan tersebut dilakukan untuk membahas keamanan hingga menemui para eksil 65. Ia juga akan menginformasikan terkait pelaksanaan hak asasi manusia (HAM).

Mahfud MD juga menyebutkan data sementara ada sebanyak 136 eksil korban pelanggaran HAM berat di luar negeri.

Sebagian besar dari mereka yang terdata merupakan eksil korban pelanggaran HAM saat Peristiwa 1965–1966, serta dua lainnya merupakan eksil dari kasus Kerusuhan Mei 1998 dan Simpang KKA Aceh.***